REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, mengatakan, saat ini ada kehendak politik yang mendahului sebuah keputusan hukum. Hal itu dia sampaikan setelah melihat banyaknya suara yang memasangkan bakal calon presiden Prabowo Subianto dengan Gibran Rakabuming Raka sebelum ketentuan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya melihat di beberapa kota besar itu baliho, ini bukan soal dukung-mendukung, tapi baliho Prabowo-Gibran itu besar-besar. Ini kan kehendak politik mendahului sebuah keputusan hukum atau sebuah putusan konstitusi,” ujar Ari dalam diskusi di Jakarta, Ahad (15/10/2023).
Meski memang, kata dia, MK dijadikan sebagai instrumentasi politik untuk mengarahkan Gibran untuk bisa lolos sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Ari mengatakan, upaya tersebut merupakan cara paling sederhana dengan harga mahal untuk memasangkan keduanya ketika wacana memasangkan Prabowo dengan Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat terlaksana.
“Ketika tidak bisa Prabowo-Jokowi, makanya Prabowo-Gibran itu sebenarnya cara paling sederhana. Tapi apakah manuver-manuver itu sampai mengunakan MK sebagai insturmentasi kekuasaan? Tentu bayarannya akan sangat mahal,” kata dia.
Ari berpandangan, ketika nantinya pasangan Prabowo-Gibran benar-benar terjadi, maka batas pemisah posisi antara ketiga bakal calon presiden dan wakil presiden akan semakin jelas. Di mana, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar akan menjadi antitesa Jokowi, Prabowo-Gibran sebagai pendukung Jokowi dengan segala atribusinya, dan Ganjar Pranowo dengan calon wakilnya nanti akan punya perbedaan jelas dengan yang mendukung Prabowo-Gibran.
“Garis mereka jelas. Jadi itu sebenarnya menjelaskan tagline dari Ganjar soal ‘hitam-putih’. Jadi posisi kontras politiknya jelas. Kan ini Prabowo dan Ganjar perlu positioning dan branding politik karena sama-sama pendukung Jokowi. Ketika Gibran menjadi cawapresnya Prabowo, saya pikir branding politiknya akan sangat jelas,” jelas Ari.
Dia juga menerangkan, manuver politik Jokowi yang seolah bermain dua kaki, alih-alih untuk menjaga keseimbangan politik, justru membuat publik mulai jenuh. Dengan arah dukungan ‘menggantung’ yang sejauh ini ditunjukkannya itu akan membuat ‘efek Jokowi’ akan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pilihan publik.
“Itu sudah terjadi seperti kejenuhan di publik sehingga sekarang mungkin ‘efek Jokowi’, dalam arti akan mengarahkan pilihan ke mana, itu tidak banyak pengaruh signifikan. Sikap Pak Jokowi yang mengambang, menjaga keseimbangan antara Prabowo dan Ganjar, sekarang justru semakin membuat demarkasi jelas,” terang Ari.