REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Seorang remaja Gaza, Omran Abu Assi (13 tahun) berharap penyeberangan Rafah segera dibuka. Dia tak tahan lagi dengan perang yang terus berkecamuk. Suara bom yang berderu selama lebih dari dua pekan terakhir telah membuat Abu Assi stres. Dia semakin tertekan ketika melihat banyak anak-anak yang menjadi korban pengeboman Israel.
“Saya di sini, di taman, di kota. Anak-anak sedang bermain di taman, saat bom meledak, ada pesawat di atasnya yang bisa mengebom kapan saja. Ini tidak aman, tidak adil,” kata Abu Assi.
Militer Israel telah menggempur Jalur Gaza dengan senjata yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang bermula ketika kelompok perlawanan Palestina, Hamas melancarkan Operasi Badai Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023. Hamas menjalankan operasi ini dengan taktik yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
Operasi mengejutkan Hamas telah membuat Israel kewalahan. Hamas melancarkan serangan terbesar terhadap Israel sejak Perang Yom Kippur tahun 1973, yang menewaskan lebih dari 1.300 orang. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangan balasan dengan skala tinggi. Israel menggempur Gaza secara masif. Tak hanya itu, Israel juga memutus aliran listrik, pasokan air, dan makanan ke Gaza sehingga warga Palestina semakin menderita.
“Perang benar-benar berdampak buruk pada Gaza. Rumah-rumah hancur, banyak orang tidur di jalanan, Anda bisa melihat puing-puing ke mana pun Anda pergi. Ini benar-benar mengerikan. Ada kebakaran, asap, di mana pun Anda melihat. Ada debu di mana-mana. Ini seperti zona perang. Ini adalah zona perang,” kata Abu Assi yang terlihat sangat kelelahan.
Banyak anak-anak yang menjadi korban pengeboman Israel. Abu Assi mengatakan, anak-anak yang menjadi korban itu tidak bersalah. Menurut dia, sangat tidak adil jika anak-anak harus menanggung beban akibat perang.
“Saya merasa kasihan pada anak-anak. Bukan salah anak-anak jika perang ini terjadi. Ini bukan salah siapa pun. Tidak adil jika hal ini terjadi, dan tidak seharusnya terjadi," ujar Abu Assi.
Abu Assi tiba di kampung halamannya di Gaza setahun yang lalu dari Inggris. Abu Assi mengatakan, dia menemukan kehidupan di Jalur Gaza. Tetapi, kehidupannya berubah sejak perang meletus. Dia berharap keluarganya bisa keluar dari Gaza melalui penyeberangan Rafah ke Mesir.
Abu Assi yang merupakan pemegang paspor Inggris dan keluarganya baru-baru ini menetap di Kota Khan Younis di selatan Gaza. Ratusan ribu pengungsi lainnya juga menetap di kota itu.
Lebih dari 2 juta penduduk Gaza, yang telah dikepung selama lebih dari seminggu, kini bersikap menghadapi invasi darat Israel. Pihak berwenang di Gaza mengatakan, setidaknya 2.750 orang telah meninggal dunia akibat serangan Israel, seperempat dari mereka adalah anak-anak. Sementara hampir 10.000 orang terluka dan 1.000 orang lainnya hilang serta diyakini berada di bawah reruntuhan.
“Mungkin saya bisa keluar dari Gaza, kalau Rafah terbuka, Alhamdulillah, yang jelas, tidak ada yang mau mati, semua orang, termasuk saya dan keluarga, kami semua stres, kami tidak tahu harus berbuat apa,” kata Abu Assi.
“Jika Rafah tidak dibuka, kita bisa mendapat masalah serius. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya sudah mengalami perang ini, entahlah, lima, enam hari sekarang, saya lupa. Ini benar-benar membuat stres,” kata Abu Assi.