Selasa 17 Oct 2023 16:20 WIB

Puslitkoka Ungkap Perlunya Adopsi Teknologi dalam Pertanian Kopi di Indonesia

Teknologinya juga tidak boleh terlalu maju sehingga tidak terjangkau petani.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Yusuf Assidiq
Warga memanen kopi Robusta di perkebunan Dusun Jambenom, Larangan Luwok, Bejen, Temanggung, Jawa Tengah (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Warga memanen kopi Robusta di perkebunan Dusun Jambenom, Larangan Luwok, Bejen, Temanggung, Jawa Tengah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Predikat Indonesia sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat dunia kian terancam, jika penguatan berbagai aspek hulu tidak mendapatkan perhatian. Pasalnya penguatan sektor hulu akan sangat menentukan keberlanjutan produktivitas kopi Indonesia, yang saat ini pasarnya semakin terbuka dan mendapatkan tempat di pasar kopi dunia.   

   

Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Indonesia, Dini Astika Sari mengatakan, problem utama yang saat ini dihadapi Indonesia dari konsesi pasar kopi global adalah produktivitas.

"Meski digenjot seperti apapun, kopi kita masih menghadapi permasalahan multi dimensional," ungkapnya, saat menjadi pembicara pada dialog interaktif bertajuk 'Sinergi Stakeholder dalam Membangun Ekosistem Kopi Berkelanjutandi Kabupaten Semarang', yang dilaksanakan pada acara Kabupaten Semarang Agro Festival, di Lapangan Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang.  

Pertama, jelas Dini, terkait dengan kondisi tanaman kopi di Indonesia yang saat ini sudah mulai tua dan rusak. Kedua, sudah banyak lahan kopi yang dikonversi menjadi lahan tanaman pertanian lainnya.

Sehingga antusiasme petani kopi pun mulai menurun karena melihat tanaman kopi yang sudah semakin tua tidak terawat. Selain itu adopsi teknologi terbaru juga sudah mulai berkurang hingga produktivitas akhirnya juga semakin menurun.

Permasalahan yang kedua adalah resources (sumber daya manusia/SDM) di tingkat petani sudah mulai berkurang drastis. Belum lagi minat para petani untuk masuk dan memulai kembali ke tanaman kopi yang juga terus berkurang karena dinamika harga kopi yang fluktuatif.

Minat untuk menjadi petani kopi masih menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana cara untuk meningkatkan kembali. "Kedua persoalan inilah yang sebenarnya sedang kita khawatirkan," jelasnya.

Bukan tidak mungkin, masih kata Dini, kalau ini dibiarkan berlanjut, pada suatu saat posisi kopi Indonesia yang sekarang berada di nomor empat pasar global bisa turun lagi dan itu yang menjadi kekhawatiran.

Sesuai mandat yang diberikan, lanjutnya, Puslitkoka terus mengembangkan inovasi dan beberapa teknologi terkini yang memang ramah dengan rakyat. Karena itu menjadi kunci  mengingat kopi merupakan komoditas rakyat.

Sehingga teknologinya tidak boleh terlalu advance (maju) sehingga tidak terjangkau oleh para petani. "Ini juga menjadi PR kita, bahwa teknologi dalam produksi kopi jangan memiliki gap atau jangan ada kesenjangan dalam menerima teknologi ini," jelasnya.

Yang sangat dibutuhkan adalah enabler (penggerak) lain, misalnya konsep bagaimana ada mediator yang mampu menggerakkan para petani kopi untuk menjaga katahanan produksi.

"Seperti disampaikan bupati Semarang, para penyuluh pertanian di daerahnya sudah diberikan fasilitas yang sangat baik, sehingga perlu ada konsepsi master training of trainer bagi para penyuluh pertanian ini," ujar dia.

Dalam hal ini, para penyuluh pertanian harus dimanfaatkan dan diberikan kapasitas dan kapabilitas yang sangat mumpuni dalam membantu dan memberikan pendampingan- pendampingan di lapangan.

Sehingga adopsi teknologi yang sudah disediakan oleh Puslitkopka bisa tersampaikan dengan baik kepada para petani dan termonitor. Karena kalau ada monitoring, pasti ada evaluasi sehingga kemudian bisa sampai sempurna di petani.

Misalnya saja hal-hal terkait dengan dampak atau pengaruh El Nino cara budidayanya harus seperti apa, demikian halnya nanti kalau ternyata harus menghadapi La Nina konsepsinya juga mesti berbeda lagi.

Sehingga, para petani kopi diajarkan untuk mulai punya alarm atau sistem peringatan, untuk bisa berdaptasi misalnya dengan faktor cuaca yang dapat memengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman dan hasil kopi.

Jika curah hujan sudah seperti ini harus seperti apa, kalau musimnya sudah seperti ini nanti panennya harus seperti apa dan seterusnya. "Ini mulai kami munculkan dan mediatornya adalah para penyuluh pertanian yang ada di daerah," tegas Dini.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Provinsi Jawa Tengah, Supriyanto menegaskan, di tengah kondisi kopi yang kian diterima oleh pasar global, hal yang paling dibutuhkan adalah kontinuitas produksi.

Jangan sampai pasar kopi yang sudah sangat terbuka, kemudian tidak didukung oleh jaminan produksi yang berkelanjutan.

"Artinya apa,  jangan berhenti sampai di sini, namun sinergitas di sektor hulu harus betul- betul disiapkan untuk mendukung produktivitas yang berkelanjutan," ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement