REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, jurnalis Republika.
Dua pekan setelah serbuan militan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober lalu, pasukan militer Zionis Israel saat ini tengah ancang-ancang melancarkan serangan lewat jalur darat ke Gaza. Diketahui, hanya intervensi dari Amerika Serikat (AS) yang kemudian menunda terlaksananya serangan darat demi memberi kesempatan bantuan kemanusiaan masuk lebih dulu ke Gaza.
Serangan darat dengan tujuan menghancurkan kantong-kantong markas Hamas bisa jadi akan menjadi perang yang panjang sekaligus menentukan bagi karier politik Netanyahu selaku perdana menteri. Namun, belum juga perang darat dimulai, Netanyahu sudah dinilai berada dalam fase kekalahan secara politik oleh sebagian pakar kajian Timur Tengah.
Dominasi Netanyahu di peta politik Israel selama 20 tahun terakhir, kini diyakini tengah mendekati garis finish. Netanyahu diprediksi akan dipaksa lengser dari kepemimpinannya pada akhir konflik Israel-Hamas, atau bahkan bisa lebih cepat.
Beberapa polling terakhir yang digelar oleh media Israel menjadi cerminan prediksi itu. Polling yang digelar Dialog Center pekan lalu contohnya, mengindikasikan bahwa sembilan dari 10 warga Israel mengkarakteristikkan serangan Hamas sebagai konsekuensi dari kegagalan pemerintahan Netanyahu. Dalam polling yang sama, 56 persen warga Israel bahkan menilai Netanyahu wajib mundur dari jabatan perdana menteri segera setelah perang berakhir.
Demi membalikkan prediksi polling di atas, perang di Gaza menjadi pertaruhan yang mutlak harus dimenangkan oleh Netanyahu. Namun kembali, para pakar meyakini hal itu tidak akan terjadi menimbang kekacauan yang sejauh ini terjadi tidak hanya di Gaza, tapi juga Tepi Barat dan juga wilayah-wilayah yang bertetanggaan dengan negara Arab seperti Lebanon.
AS juga dilaporkan media Barat mulai prihatin akan absennya rencana jangka panjang Netanyahu selain serangan balik ke Gaza. Apalagi, serangan barbar angkatan udara Israel telah memicu kekhawatiran dunia; gelombang protes dan demo besar-besaran di beberapa negara lantaran mengakibatkan banyak jatuhnya korban jiwa dari kalangan sipil.
Semakin banyak warga Palestina yang tidak ada hubungannya dengan kebrutalan Hamas mati di tangan angkatan bersenjata Israel, semakin meningkat pula tekanan dunia internasional termasuk dari komunitas Yahudi di luar Israel yang tidak setuju dengan kebijakan zionis merespons konflik di tanah pendudukan. Serangan balasan terhadap Hamas tanpa rencana jangka panjang juga dikhawatirkan akan membuat konflik meluas, melibatkan negara-negara di sekitar kawasan yang bisa semakin mengancam keamanan negara Israel.
Tidak hanya karier politik Netanyahu yang dinilai tengah mendekati akhirnya, ambisi-ambisinya sebagai pemimpin sayap kanan legendaris di negeri zonis pun terancam pupus. Reformasi yudisial yang pernah memicu gelombang protes di Israel sepertinya akan menemui jalan buntu, pun dengan proses normalisasi Israel-Arab Saudi yang diharapkan dapat menguntungkan Netanyahu saat ini ditangguhkan.
Jika serangan Israel ke Gaza nantinya berujung semakin berjatuhannya korban tewas dari kalangan sipil, akan sangat sulit bagi Arab Saudi menandatangani sebuah perjanjian normalisasi jangka panjang dengan Israel. Pun seandainya normalisasi tetap terealisasi, sangat mungkin Arab Saudi akan memasukkan klausul yang kemudian menguntungkan rakyat Palestina.
Padahal, salah satu muslihat normalisasi dengan bangsa Arab adalah upaya Netanyahu mengirim pesan kepada dunia, bahwa perbaikan hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab bisa dilaksanakan tanpa harus memikirkan masalah Palestina. Namun ternyata, sebelum pesan itu sampai di tujuan, Hamas melancarkan 'sabotase' dan mengirim pesan balik, bahwa isu kemerdekaan Palestina tidak bisa dihilangkan dalam kerangkan upaya normalisasi Arab-Israel.
Apakah serangan darat ke Gaza akan jadi dieksekusi oleh Netanyahu? Dan seandainya militer Gaza tetap gas pol merangsek masuk ke Gaza, berapa lama perang akan berlangsung? Dan apakah peperangan akan berakhir 'kemenangan' bagi zionis? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya akan menjadi penentu nasib karier politik Benjamin Netanyahu.