REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Nelayan tangkap yang ada di Danau Rawapening, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan ganasnya sejumlah spesies ikan predator yang kini berhabitat di danau alam tersebut.
Keberadaan ikan predator seperti red devils (Amphilophus labiatus), tomang (Channa micropeltes), dan ikan belida (Chitala blanci), turut memengaruhi penurunan hasil tangkapan mereka, dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
“Berkurangnya hasil tangkapan kami bukan dipengaruhi oleh penurunan elevasi air danau akibat musim kemarau saja, tetapi juga ikan predator,” kata Ketua Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sido Guyub, Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Yuwono (53), Kamis (26/10/2023).
Menurutnya, penurunan elevasi air Rawapening yang sudah berlangsung tiga bulan terakhir megakibatkan hasil tangkapan ikan endemik danau tersebut menurun drastis, dan kali ini paling parah.
Di sisi lain, ikan-ikan predator yang ada di Rawapening ini juga semakin ganas memangsa ikan-ikan tangkapan dan bahkan hampir tidak menyisakan lagi untuk nelayan tangkap.
Biasanya, lanjut Yuwono, satu orang nelayan tangkap mampu membawa pulang 10 hingga 12 kilogram ikan. Untuk saat ini bisa membawa pulang hasil tangkapan dua kilogram per hari sudah sangat bagus.
Ia sendiri sebelumnya beberapa kali menangkap ke tengah danau dan paling-paling hanya bisa membawa pulang hasil tangkapan kisaran 1,2 – 1,5 kilogram per hari. “Makanya sudah hampir tiga bulan ini tidak menangkap ikan,” jelas dia.
Yuwono menambahkan, kalau membawa pulang ikan hasil tangkapan cuma dua kg, nelayan tangkap tetap merugi, karena harga jual ikan tangkapan juga hanya berkisar Rp 20 ribu - Rp 25 ribu per kg.
Ikan tangkap yang per kg-nya mencapai tujuh hingga delapan ekor untuk saat ini cuma laku Rp 20 ribu. Sedangkan per kg dengan jumlah lima hingga enam ekor ikan bisa laku Rp 25 ribu.
Adapun untuk operasional pergi menangkap ikan per hari bisa habis Rp 50 ribu. Sehingga kalau pulang hanya membawa hasil tangkapan dua kg nelayan merugi. “Makanya, saya sementara tidak menangkap ikan dulu dari pada merugi,” tegasnya.
Terkait dengan keberadaan ikan predator di Rawapening, Yuwono mengatakan, sepengetahuannya hanya tomang dan belida yang merupakan ikan predator endemik danau Rawapening.
Untuk saat ini, ikan tomang di danau Rawapening sepertinya sudah mulai berkurang karena banyak yang ditangkap para nelayan. Tetapi api belida dan red devil ini yang masih banyak sehingga mengganggu populasi nila Rawapening.
“Kalau red devil berasal dari mana kurang tahu, tetapi saat ini cukup ganas memangsa ikan-ikan nila dan kami juga belum tahu solusinya, termasuk cara menangkapnya guna mengurangi populasi ikan predator,” tegas dia.
Ihwal ikan-ikan predator yang dikeluhan para nelayan tangkap Rawapening diamini oleh Sekretaris Dinas Pertanian Perikanan dan Pangan (Dispertanikap) Kabupaten Semarang, Istichomah.
Ia mengatakan elevasi yang turun di Rawapening berpengaruh terhadap tangkapan ikan nelayan. Sebenarnya potensi hasil perikanan di danau yang membentang di wilayah Kecamatan Bawen, Tuntang, Banyubiru, dan Kecamatan Ambarawa ini mencapai 150 ton per bulan atau 1,8 ton per tahun.
Tetapi realisasi hasil tangkapan tahun ini hanya 643,20 ton. “Selain kekeringan, adanya ikan predator juga mengganggu produktivitas hasil perikanan di Rawapening ini,” ungkapnya.
Meski upaya restocking atau pelepasan benih ikan endemi sudah sering dilakukan, namun keberadaan ikan-ikan predator tersebut masih menjadi momok bagi para nelayan tangkap.
Sehingga, pihak Dispertanikap mendorong program-program hilirisasi sebagai upaya untuk menopang hasil tangkapan agar bernilai ekonomi lebih, seperti pengolahan ikan hasil tangkapan.
“Program hilirisasi ini menjadi penting, karena kita tidak bisa ‘mengatur’ alam, Seperti saat ini musim kemarau disertai fenomena el Nino, kita kan tidak bisa mencegah,” ujarnya.