REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bumi yang terus-menerus terasa semakin panas dari hari ke hari dikhawatirkan mengarah pada kondisi yang tidak dapat ditoleransi oleh miliaran penghuninya. Seorang pakar lingkungan memprediksi, sejumlah lokasi di Bumi akan terlalu panas untuk ditinggali.
Peneliti pascadoktoral di Pusat Iklim Virginia Universitas George Mason, Daniel Vecellio, mengatakan bahwa gelombang panas lazim terjadi saat musim panas. Namun, kondisi itu biasanya berlangsung dalam periode singkat. Sementara, gelombang panas belakangan telah berkembang menjadi panas terik selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Sudah ada banyak studi yang menunjukkan bahwa gelombang panas kini berlangsung lebih lama, lebih panas, dan lebih sering terjadi selama setengah abad terakhir. Panas ekstrem pun telah melanda seluruh benua di Bumi selama beberapa tahun terakhir.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Vecellio menjawab itu dengan melakukan studi wet-bulb temperature (temperatur bola basah), menggabungkan pengaruh panas dan kelembapan pada tubuh manusia. Ini menunjukkan suhu di mana sebidang udara akan mendingin dengan menguapkan air ke lingkungan, serupa dengan efek pendinginan keringat yang menguap dari kulit.
Sebelumnya, para ilmuwan berteori bahwa suhu bola basah sebesar 95 derajat Fahrenheit (35 derajat Celsius) adalah suhu tertinggi di mana manusia dapat mendinginkan diri tanpa bantuan kipas angin atau AC. Namun, pengujian laboratorium terhadap orang-orang muda, sehat, dan tak terbiasa dengan panas di Pennsylvania State University menunjukkan bahwa batas jumlah bola basah mendekati angka 88 derajat Fahrenheit (31 derajat Celsius).
"Dengan menggunakan ambang batas bawah berdasarkan data eksperimen aktual, saya dan ilmuwan lain di Penn State dan Purdue University meneliti kapan dan di mana kondisi ini akan muncul di iklim masa depan menggunakan model terbaru," ujar Vecellio, dikutip dari laman Los Angeles Times, Selasa (31/10/2023).
Titik panas yang melebihi ambang batas suhu bola basah ini mencakup beberapa wilayah terpadat di dunia: Lembah Sungai Indus di India dan Pakistan, Asia Timur, Timur Tengah, dan Afrika Sub-Sahara. Wilayah yang disebutkan itu terdiri dari negara-negara berpendapatan rendah hingga menengah dengan populasi rentan. Mereka yang akan menanggung beban terbesar akibat perubahan iklim, meskipun kontribusi mereka relatif kecil terhadap penyebabnya.
Jika pemanasan global terus terjadi, kondisi panas yang secara fisiologis tidak dapat ditoleransi manusia tidak tertutup kemungkinan juga akan muncul di Amerika. Patut diperhatikan bahwa "melanggar" ambang batas suhu bola basah satu kali tidak akan membuat suatu tempat menjadi terlalu panas bagi manusia.
Di Chicago, misalnya, akan mengalami rata-rata satu jam per tahun di atas ambang batas pada suhu pemanasan dua derajat. Namun, untuk menuju suhu "berbahaya", kondisi melebihi ambang batas itu harus terus terjadi selama enam jam tanpa tindakan pencegahan.
Di sisi lain, pada suhu pemanasan sebesar dua derajat, kota Hudaydah, Yaman, yang berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa, akan mengalami rata-rata 340 jam setahun panas dan kelembapan yang secara fisiologis tidak dapat ditoleransi. Itu menjadikan seluruh penduduk berada pada kondisi berisiko.
Titik panas global berpenduduk padat lainnya jika suhu pemanasan dua derajat terus terjadi adalah Aden, Yaman, dengan catatan kondisi melebihi suhu bola panas terjadi sekitar 34 hari dalam setahun. Begitu pula Dammam dan Jeddah di Arab Saudi, yang masing-masing batasnya 37 dan delapan hari. Lokasi lain yang diperkirakan terimbas yakninBandar Abbas dan Ahvaz di Iran, Lahore di Pakistan, Dubai, juga Delhi dan Kolkata di India.
Bahkan dalam iklim yang terpantau hingga kini, panas ekstrem sudah dikaitkan dengan konsekuensi kesehatan yang buruk. Gelombang panas di wilayah Midwestern telah menewaskan 700 orang di Chicago pada tahun 1995. Lebih dari 70.000 orang meninggal di Eropa pada musim panas tahun 2003.
Pada 2010, sejumlah 55.000 orang meninggal akibat panas di Rusia. Baru-baru ini, diperkirakan 1.400 orang meninggal di Oregon, Washington, dan British Columbia selama gelombang panas 2021, dan sekitar 60.000 orang meninggal akibat panas ekstrem di Eropa Barat tahun lalu.
Ribuan orang lainnya mungkin telah kehilangan nyawa mereka akibat gelombang panas yang menimpa negara-negara Selatan. Kurangnya kapasitas kesehatan masyarakat dan pelaporan mengaburkan jumlah korban yang diakibatkan oleh kondisi panas ekstrem.
Vecellio mengatakan, populasi tidak hanya rentan karena sengatan panas, tetapi juga karena komplikasi yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular, pernapasan, dan ginjal. Dampak terburuk dari panas ekstrem itu perlu dicegah dan diatasi dengan langkah-langkah adaptasi serta mitigasi.
"Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa kita perlu bersiap menghadapi, beradaptasi, dan memitigasi panas ekstrem saat ini. Upaya global untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan menurunkan emisi karbon bersih secepat mungkin harus dilakukan," ungkap Vecellio.