REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- UNICEF telah menyuarakan kekhawatiran atas meningkatnya jumlah kematian anak-anak di Jalur Gaza sejak 7 Oktober. Laporan awal menunjukan puluhan, kemudian meningkat menjadi ratusan, dan kini ribuan anak-anak terbunuh hanya dalam waktu dua minggu. Jumlah korban di kalangan anak di bawah umur telah melebihi 3.450 jiwa.
“Yang mengejutkan, jumlah ini meningkat secara signifikan setiap hari. Gaza telah menjadi kuburan bagi anak-anak. Ini adalah neraka bagi semua orang,” kata Elder.
Dia mengatakan, bahwa anak-anak di Gaza sekarat bukan hanya karena serangan udara tetapi juga karena kurangnya perawatan medis yang diperlukan.
"Ancaman terhadap anak-anak lebih dari sekadar bom,” kat Elder.
Elder menggarisbawahi bahwa air dan trauma merupakan beberapa ancaman lain yang dihadapi di daerah kantong Palestina yang terkepung. Dia memperingatkan bahwa lebih dari sejuta anak-anak Gaza menghadapi krisis air kritis karena produksi air harian Gaza berada pada lima persen dari kapasitas produksinya.
“Kematian anak karena dehidrasi, khususnya kematian bayi karena dehidrasi, merupakan ancaman yang semakin besar,” kata Elder.
Mengenai trauma, juru bicara UNICEF ini menyoroti kondisi anak-anak ketika pertempuran akhirnya berhenti. Mereka harus menghadapi kerugian dan komunitasnya yang akan terus ditanggung oleh generasi mendatang.
Elder menekankan,sebelum konflik saat ini dimulai, lebih dari 800 ribu anak di Gaza atau tiga perempat dari seluruh populasi anak-anak diidentifikasi membutuhkan kesehatan mental dan dukungan psikologis.
Direktur Eksekutif UNICEF Catherine Russell menegaskan kembali akibat sebenarnya dari eskalasi terbaru ini akan diukur pada kehidupan anak-anak. Anak-anak akan selamanya berubah karena kekerasan yang terjadi.
“Angka kematian anak-anak Gaza seharusnya sudah sangat bisa mengguncang kita semua,” ujar Russell.