REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus DBD merupakan salah satu ancaman kesehatan masyarakat di dunia, dan Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran tentang DBD di kalangan masyarakat, praktisi kesehatan, dan pemangku kebijakan guna merumuskan strategi untuk mengurangi angka kerugian dan kematian akibat DBD.
Melalui sesi “Burden of Dengue in Indonesia” dalam InaHEA Biennial Scientific Meeting 2023 dibahas bagaimana kasus DBD dapat berdampak jangka panjang terhadap kualitas hidup individu, tekanan pada keluarga, serta aspek penanganan dalam sistem perawatan kasus DBD dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.
Berdasarkan rilis yang diterima pada Senin (6/11/2023), Asik Surya, MPPM selaku Koordinator Substansi Arbovirosis Kementerian Kesehatan RI membahas bagaimana uraian prevalensi dan insidens penyakit DBD di Indonesia beserta pola epidemiologinya berdasarkan karakteristik wilayah dan masyarakat. Apa yang menjadi determinan kejadian DBD di Indonesia, bagaimana upaya dan kebijakan yang telah disusun dan diimplementasikan dalam menurunkan kasus DBD di Indonesia pada jangka pendek dan panjang, serta bagaimana tantangan utama yang dihadapi dalam penanganan kasus DBD di Indonesia dari sisi masyarakat maupun penyedia pelayanan.
Dalam presentasinya, dr. Asik menyampaikan bahwa interaksi agent, host, dan lingkungan pada DBD merupakan suatu penyakit yang menempatkan semua orang memiliki resiko untuk tertular, dengan golongan tertinggi untuk penderita DBD adalah usia 0-14 tahun sebesar 49,8 persen. Kasus DBD ini diperparah dengan adanya perubahan iklim yang terjadi saat ini.
“Ada beberapa strategi nasional dalam menanggulangi DBD di Indonesia menuju zero dengue death 2030, yaitu Koalisi Bersama Lawan Dengue, Pemberantasan Sarang Nyamuk 3M plus, melalui G1R1J (Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik), Pokjanal DBD menggerakan G1R1J, dan inovasi terkini," kata Asik.
Dr Nandyan N Wilastonegoro, M.Sc.I.H. selaku Deputi Direktur CFHC-IPE, FK-KMK UGM membahas lebih lanjut terkait dampak sosial langsung maupun tidak langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat penyakit DBD serta tingkat keparahannya. Bagaimana tantangan dan hambatan akses pelayanan DBD di masyarakat terutama pada kelompok marjinal, serta bagaimana rekomendasi kebijakan pencegahan dan penanganan DBD yang komprehensif yang perlu diimplementasikan oleh pemerintah.
“Kasus dengue mengalami kenaikan yang dramatis. Per tahun, diestimasikan ada 58 juta hingga 105 juta kasus di seluruh dunia. Kenaikan juga terlihat pada disability-adjusted life year (DALY). Di mana pada tahun 1990 berada pada 800 ribu dan tahun 2016 menyentuh angka 2,8 juta. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beban DBD yang terbesar di dunia, di mana diestimasikan ada sekitar 7,8 juta kasus DBD. Dari sisi beban keuangan DBD, sebagian besar ditanggung dengan keuangan rumah tangga, dan diikuti oleh JKN dan kontribusi dari kerabat," kata Nandyan.
Andreas Gutknecht selaku Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, dalam wawancara terpisah mengatakan, Takeda menghargai kontribusi InaHEA dalam meningkatkan kesadaran tentang beban penyakit demam berdarah di Indonesia dan dampaknya pada kesehatan masyarakat.
"Kami juga merasa terhormat atas kepercayaan yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan RI dalam menjalin kemitraan yang kuat untuk berbagai upaya pencegahan DBD, sejalan dengan tujuan nol kematian akibat DBD di Indonesia pada tahun 2030," kata Andreas.