REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Pemerintah Cina meminta negara-negara besar mengambil posisi objektif terkait perang yang saat ini tengah berlangsung di Jalur Gaza. Beijing menegaskan, mereka berpegang teguh pada solusi dua negara untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Cina, Wang Wenbin, mengatakan sebagai penyandang presiden bergilir Dewan Keamanan PBB bulan ini, Cina terus bekerja sama dengan para pihak terkait untuk dapat menghentikan pertempuran di Jalur Gaza. Beijing, ungkap Wang, juga akan berusaha meredakan krisis kemanusiaan yang kian memburuk di wilayah tersebut.
“Komunitas internasional perlu mengambil tindakan segera. Negara-negara di luar kawasan, terutama negara-negara besar, perlu mengambil posisi yang objektif dan adil serta memainkan peran konstruktif dalam meredakan krisis,” kata Wang dalam pengarahan pers, Selasa (7/11/2023), dikutip laman resmi Kemenlu Cina.
Pada kesempatan itu, dia kembali menyampaikan bahwa Cina mendukung perdamaian langgeng antara Israel dan Palestina melalui solusi dua negara. “Mengenai konflik Israel-Palestina, Cina tetap berpihak pada perdamaian, kesetaraan, dan keadilan,” ucapnya.
Pertempuran antara Israel dan kelompok Hamas yang mengontrol Gaza telah berlangsung selama sebulan. Hingga Selasa lalu, jumlah warga Gaza yang terbunuh sejak dimulainya agresi Israel ke Gaza telah mencapai 10.305 jiwa. Lebih dari 4.200 di antaranya adalah anak-anak. Sementara korban luka melampaui 25 ribu orang.
Dewan Keamanan PBB yang diharapkan dapat menerbitkan resolusi gencatan senjata atau jeda kemanusiaan di Gaza masih terus menghadapi kebuntuan. Dalam konteks ini, sejumlah rancangan resolusi yang diajukan selalu diveto oleh negara anggota tetap. Pada Senin (6/11/2023) lalu, Cina dan Uni Emirat Arab (UEA) meminta penyelenggraan pertemuan darurat untuk membahas situasi di Palestina. Namun pertemuan itu gagal menghasilkan resolusi.
Sebelumnya Dewan Keamanan PBB telah empat kali gagal mengadopsi rancangan resolusi jeda kemanusiaan di Jalur Gaza. Pada 25 Oktober 2023 lalu, dua rancangan resolusi yang diajukan secara terpisah oleh Rusia dan Amerika Serikat (AS) gagal diadopsi karena diveto.
Rancangan resolusi AS menuntut jeda kemanusiaan di Jalur Gaza. Namun draf resolusi itu turut mengutuk serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Resolusi usulan AS juga menyerukan Hamas membebaskan seluruh warga Israel dan warga asing lainnya yang mereka sandera di Gaza tanpa syarat apa pun. Rancangan resolusi AS memperoleh 10 suara mendukung. Namun Rusia, Cina, dan UEA menentangnya. Moskow dan Beijing diketahui merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Sementara itu, rancangan resolusi yang diajukan Rusia juga berisi tentang tuntutan gencatan senjata kemanusiaan di Gaza. Namun resolusi tersebut turut ditolak dengan komposisi empat negara mendukung, dua menentang, dan sembilan lainnya abstain. AS dan Inggris adalah dua negara yang menolak rancangan resolusi Rusia. Sebuah resolusi harus memperoleh sembilan dukungan tanpa veto untuk bisa diadopsi di Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara.
Pada 16 Oktober 2023 lalu, resolusi rancangan Rusia yang berisi seruan gencatan senjata kemanusiaan dalam perang antara Hamas dan Israel juga gagal disahkan di Dewan Keamanan PBB. Rancangan resolusi tersebut memperoleh lima suara setuju, empat menentang, dan enam lainnya abstain. AS termasuk di antara negara yang menentang.
Selain Rusia, Brasil juga mengajukan rancangan resolusi serupa. Namun rancangan resolusi tersebut juga gagal diadopsi pada 18 Oktober 2023 lalu akibat diveto AS. Sejak pecahnya pertempuran pada 7 Oktober 2023 lalu, Washington telah berulang kali menyatakan bahwa Israel memiliki hak untuk membela diri ketika diserang. Namun sejumlah negara dan lembaga internasional menilai, apa yang dilancarkan Israel ke Jalur Gaza telah melampaui aksi pembelaan diri. Hal itu mengingat banyaknya korban dan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit serta tempat ibadah yang terimbas serangan Israel.