Jumat 10 Nov 2023 10:41 WIB

Israel dan AS Desak Uni Eropa Jatuhkan Sanksi Baru ke Hamas

Beberapa negara Uni Eropa menolak permintaan Israel dan AS ini.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nidia Zuraya
Pejuang Hamas (ilustrasi). Israel dan Amerika Serikat menekan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023.
Foto: EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Pejuang Hamas (ilustrasi). Israel dan Amerika Serikat menekan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Hamas setelah serangan 7 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Israel dan Amerika Serikat menekan Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Hamas setelah serangan 7 Oktober terhadap Israel yang menewaskan sekitar 1.400 orang.

Beberapa negara Uni Eropa menolaknya, dengan menteri luar negeri Portugal mengatakan sanksi baru itu merupakan "taktik pengalihan" dibandingkan masalah kenegaraan yang lebih besar bagi Palestina.

Baca Juga

"Ini bukan masalah utama, kita semua sepakat Hamas adalah organisasi teroris [dan] Hamas telah melakukan kekejaman mutlak."

"Pertanyaan yang lebih besar untuk membangun Timur Tengah di mana Hamas tidak ada lagi, tidak akan tercapai melalui kombinasi serangan militer dan sanksi," kata Menteri Luar Negeri Portugal João Gomes Cravinho tentang sanksi yang diusulkan, seperti dikutip Politico, Kamis (9/11/2023).

"Hal itu harus dicapai melalui pengembangan penyelesaian yang memberikan Palestina negara mereka sendiri dan dengan semua karakteristik negara yang diakui oleh masyarakat internasional," tambahnya.

Merespons komentar menteri Portugis tersebut, beberapa diplomat yang tidak disebutkan namanya mengatakan sensitivitas perang Israel-Hamas akan menyulitkan upaya mendapatkan dukungan suara bulat untuk menjatuhkan sanksi baru pada Hamas yang sudah terdaftar sebagai organisasi teror oleh Uni Eropa dan juga AS. Sementara diplomat lain mengatakan Uni Eropa tidak memiliki bukti spesifik terhadap para pemimpin Hamas.

Setelah serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober lalu Departemen Keuangan AS mengumumkan Washington menjatuhkan sanksi terhadap 10 petinggi Hamas dan sejumlah "fasilitator keuangan" di negara-negara tetangga seperti Sudan, Turki, Aljazair, dan Qatar.

Jepang segera mengambil langkah serupa. Tokyo menjatuhkan sanksi pada sembilan petinggi serta perusahaan yang terkait dengan Hamas.

Akhir bulan lalu wakil menteri keuangan AS Wally Adeyemo mengunjungi London, Brussels, dan Berlin untuk menyerukan perluasan sanksi terhadap Hamas.

Ketika ditanya apakah Uni Eropa akan mengikutinya, lima diplomat Uni Eropa mengatakan mereka tidak mengetahui adanya usulan semacam itu dari Komisi Eropa, yang biasanya bertanggung jawab untuk mengusulkan sanksi.

Ketika didesak untuk memberikan rincian mengenai pembungkaman radio tersebut, para diplomat memberikan penjelasan yang berbeda-beda.

Salah satunya mengatakan perlu bukti yang kuat keterlibatan pemimpin Hamas dengan terorisme untuk bisa menjatuhkan sanksi ke mereka. Sementara Eropa tidak memiliki kemampuan intelijen untuk mengumpulkan bukti sendiri, artinya harus ada negara yang memberikannya, dan sejauh ini belum ada.

Seorang diplomat lain mengungkapkan sensitivitas perang Israel-Hamas di beberapa negara anggota, akan menyulitkan untuk mendapatkan dukungan bulat untuk sanksi tersebut. Diplomat yang sama mengatakan Komisi Eropa dan badan diplomatik Uni Eropa (EEAS) mungkin menginginkan lebih banyak waktu sebelum mengajukan proposal resmi.

Pejabat lain menunjukkan fakta Uni Eropa telah memasukan Hamas ke dalam daftar organisasi teroris. Pada 2021 lalu Uni Eropa memenangkan kasus pengadilan yang memungkinkannya untuk mempertahankan Hamas dalam daftar kelompok teror Eropa.

Seorang juru bicara Komisi Eropa mengatakan karena Hamas telah masuk daftar organisasi teroris Uni Eropa, "menyediakan sumber daya (termasuk keuangan) secara langsung atau tidak langsung kepada Hamas sudah dilarang."

Juru bicara tersebut tidak dapat mengomentari kemungkinan diskusi di Dewan "karena sifatnya yang rahasia."

Duta Besar Israel untuk Uni Eropa Haim Regev menolak argumen ini. Ia mengatakan pembatasan yang ada saat ini tidak diterapkan dengan baik dan diperlukan sanksi untuk menghukum para pemimpin dan entitas yang tidak tercakup saat ini.

"Uni Eropa sudah mengakui Hamas sebagai organisasi teroris, namun kami membutuhkan solusi yang lebih kuat untuk mengimplementasikannya," kata Regev.

"Kami sudah mulai mendiskusikan hal ini di Eropa dan dengan Uni Eropa juga untuk melihat apa yang dapat dilakukan lebih banyak karena pada akhirnya, [Hamas] tidak hanya menjadi ancaman bagi Israel, tapi juga ancaman bagi Eropa," katanya.

Desakan dari Regev tersebut menggemakan tekanan dari AS. Seorang pejabat Departemen Keuangan AS mengatakan Washington tidak menghadapi perlawanan dari Uni Eropa terkait sanksi, namun mengatakan, "Saya merasa kami  harus bergerak lebih cepat."

"Kecepatan itu penting, dan semakin cepat kami bertindak bersama, semakin cepat kami dapat memutus akses mereka terhadap pendanaan yang mereka butuhkan untuk melakukan kekerasan, tidak hanya di Israel tetapi juga di seluruh dunia," tambah pejabat tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement