Sabtu 11 Nov 2023 06:20 WIB

Sudirman Said Bertanya-tanya, Mengapa Anwar Usman Masih Jadi Hakim MK, Meski Langgar Etik

Sudirman menilai seseorang yang sudah dinilai langgar etika semestinya tak jabat lagi

Rep: Eva Rianti/ Red: Teguh Firmansyah
Sudirman Said
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sudirman Said

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Anies Baswedan, Sudirman Said mengomentari tentang keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberi sanksi pemberhentian secara tidak hormat terhadap Anwar Usman sebagai Ketua MK, namun masih menjadi anggota hakim konstitusi. Menurut Sudirman, mestinya jika sudah dijatuhi pelanggaran berat, yang bersangkutan tidak etis lagi menjadi hakim konstitusi. 

Sudirman menyebut bahwa syarat menjadi hakim MK adalah negarawan. Syarat itu istimewa karena tidak ada lembaga tinggi negara yang mensyaratkan karakteristik tersebut. Maka ketika tidak lagi sebagai sosok negarawan, tidak pas lagi kedudukan sebagai hakim disematkan. 

 

"Hakim ini divonis melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik, kita bertanya masyarakat bertanya kok hanya diberhentikan sebagai ketua MK. Ketua itu kan hanya administrasi, bukan esensi," kata Sudirman kepada wartawan di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (10/11/2023). 

 

Menurut Sudirman, jika seorang hakim konstitusi sudah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku, yang bersangkutan sudah tidak etis.

 

"Kita mendorong agar ada proses lebih lanjut, terserah pada MK. Jadi kita menyayangkan, bertanya mengapa orang yang sudah diputuskan melakukan pelanggaran berat ketika menjalankan fungsi hakim kok terua diberikan kewenangan jadi hakim," ungkapnya. 

 

Diketahui, MKMK menjatuhkan sanksi berat yaitu Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Ketua MK Anwar Usman. Hanya saja, putusan ini melahirkan dissenting opinion (DO) atau pendapat berbeda karena MKMK hanya menyatakan PTDH terhadap status Anwar sebagai Ketua MK. Dengan demikian, Anwar hanya turun kasta menjadi hakim MK biasa berkat putusan MKMK. 

 

Deretan pelaporan terhadap MK merupakan akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023). 

 

Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan itu, dari awalnya syarat capres-cawapres minimal batas usia 40 tahun berubah menjadi minimal batas usia 40 tahun atau sedang dan pernah menjadi kepala daerah. 

 

Putusan itu dinilai menjadi jalan mulus bagi Wali Kota Solo atau putra sulung Presiden Joko Widodo yang sekaligus keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 36 tahun bisa maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Putusan yang pro pencalonan Gibran itu diketahui tetap diketok meski dihujani empat pendapat berbeda atau Dissenting Opinion hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement