REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan adalah buah dari pohon yang bernama dehumanisasi dan destabilisasi sosial serta ekonomi. Masih ada saja pihak yang memaksakan kehendaknya melalui tindak kekerasan terhadap pihak lainnya, yang sebenarnya akan menjadi rantai kekerasan tak berkesudahan. Menjawab permasalahan ini, sudah semestinya dikedepankan dialog konstruktif dan diplomasi yang menjunjung tinggi rasa perdamaian dan kemanusiaan.
Akademisi dan pakar ilmu politik, Prof Dewi Fortuna Anwar mengatakan bahwa semua harus mengakui jika suatu kekerasan akan melahirkan kekerasan lainnya. Hal tersebut selalu terjadi silih berganti dari masing-masing pihak yang bertikai. Seharusnya dalam setiap ada konflik atau permasalahan, ada jalan penyelesaian secara damai dan kemungkinan berdiplomasi harus selalu diutamakan.
"Bahkan kita sendiri pun mungkin pernah menyaksikan atau mengalami, kekerasan kepada kelompok masyarakat tertentu akan menimbulkan militanisme dan gerakan-gerakan yang semakin memperparah kekerasan yang sebelumnya ada," ujar Dewi Fortuna di Jakarta, Jumat (10/11/2023).
Walaupun demikian, lanjut Dewi, ada kalanya memang tidak selalu bisa hanya melakukan pendekatan persuasif, kadang-kadang pendekatan represif perlu dilakukan. Indonesia juga pernah memainkan peran represif seperti ketika menghadapi gerakan-gerakan terorisme di dalam negeri, ataupun dunia internasional ketika menghadapi ancaman dari Al-Qaeda dan ISIS.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan pada Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) pada 2001-2010 ini pun menambahkan, perlu dipahami bahwa istilah terorisme sebenarnya berbagai pihak memaknainya bisa berbeda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Pada beberapa konflik yang terjadi, pihak yang dianggap sebagai penyebar teror oleh banyak negara justru dipandang sebagai juru selamat oleh pihak tertentu, dan begitu pula sebaliknya.
"Seperti yang terjadi di Israel dan Palestina. Selama ini Kalau kita lihat pemberitaan di media-media Barat, yang disoroti utamanya adalah gerakan terorisme yang dilakukan oleh Hamas kepada Israel. Argumentasi mereka didasarkan pada serangan Hamas terhadap Israel yang belakangan ini dilakukan secara tiba-tiba dan melibatkan tindak penculikan dan pembunuhan," kata Dewi.
Padahal ungkapnya, kalau saja dilihat secara keseluruhan, apa yang dialami oleh masyarakat Palestina di Gaza selama puluhan tahun, mereka seperti hidup dalam penjara, bahkan neraka. Mereka dikebiri hak-hak asasinya, bahkan kebutuhan mereka sebagai warga sipil seringkali terabaikan. Maka menjadi wajar jika ada pihak yang mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Hamas ini adalah suatu bentuk perlawanan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina.
Ia menambahkan bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa kedua perspektif di atas, baik yang pro maupun kontra dengan Palestina ataupun Israel, akan selalu ada dan masing-masing punya pendukungnya. Masing-masing perspektif memiliki kadar kebenarannya sendiri. Dua kutub yang berseberangan ini bisa terjadi karena adanya timbal balik atau aksi dan reaksi. Semua perlu melihat konteksnya secara keseluruhan agar tidak keliru dalam bersikap.