REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peran keluarga dinilai penting dalam menekan angka pernikahan dini atau pernikahan anak di bawah umur. Hal ini disampaikan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Erlina Hidayati Sumardi, menyusul ratusan pengajuan dispensasi nikah dini yang tercatat sejak Januari hingga Oktober 2023 di DIY.
Erlina menuturkan, sebagian besar anak yang mengajukan dispensasi nikah ini dikarenakan hamil duluan atau hamil di luar nikah. Secara jumlah, pihaknya telah mencatat setidaknya 1.122 orang berumur 19 tahun ke bawah yang melakukan pernikahan dini hingga Oktober 2023.
Sedangkan, angka pengajuan dispensasi nikah dini tercatat sebanyak 456 pengajuan hingga Oktober 2023 di DIY. Meski angka ini lebih rendah dari 2022 yakni 640 pengajuan, namun masih terbilang cukup tinggi.
"Makanya paling penting itu (peran) di keluarga, artinya parenting atau pola asuh, atau keluarga harmonis yang berketahanan. Kami memang penguatan di keluarga (untuk upaya menekan pernikahan dini)," kata Erlina kepada Republika.
Menurutnya, penting untuk dipahamkan kepada anak terkait fungsi-fungsi reproduksi oleh keluarga terutama orang tua maupun orang dewasa yang merawat anak. Termasuk memahamkan kepada anak terkait bahaya-bahaya dari pergaulan bebas, hingga terkait dengan kesehatan atau penyakit reproduksi itu sendiri.
"Harus ada penguatan di pola asuh orang tuanya atau orang dewasa yang mengasuhnya, sehingga harus dipahamkan dari awal terkait dengan fungsi-fungsi reproduksi tubuh, kemudian bahaya-bahaya yang timbul bila tidak dipelihara dengan baik. Baik terkait dengan kesehatan atau penyakit-penyakit reproduksi, atau penyakit seksual, kemudian terkait pemahaman kalau melakukan apa lalu nanti akibatnya apa," ungkapnya.
Erlina menuturkan, saat ini memahamkan kepada anak terkait hal-hal itu masih tabu di masyarakat, tidak terkecuali di DIY. Menurut dia, masih banyak orang tua yang tergagap-gagap dalam memberikan pemahaman tentang pendidikan kesehatan reproduksi.
"Jangan menganggap aib atau tabu pendidikan tentang kesehatan reproduksi, itu yang masih susah di keluarga-keluarga di Jawa, orang tua masih tergagap-gagap ketika harus memberikan pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak-anaknya," ujar Erlina.
Untuk itu, pihaknya terus melakukan penguatan utamanya dengan menyasar keluarga agar dapat berkontribusi dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi kepada anak. Begitupun di sekolah juga dilakukan penguatan agar para pendidik dapat turut serta dalam memahamkan anak terkait kesehatan reproduksi ini.
"Di sekolah maupun di kelurahan (program) itu jalan semua, cuma memang jumlah SDM kami belum memadai untuk bisa menjangkau ke semuanya. Memang kami sangat berharap masing-masing orang tua ini yang harus berperan, penting sekali keluarga itu, makanya kami selalu keluarga yang jadi prioritas utama," katanya.