REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai pasar bank syariah saat ini tidak sehat karena masih berada pada skala usaha yang relatif kecil sehingga kurang kompetitif di industri perbankan nasional. Dari total 13 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usqha Syariah (UUS) yang beroperasi di Indonesia, 11 BUS dan 17 UUS masih berada pada kelas aset di bawah Rp 40 triliun dan hanya ada dua BUS dan tiga UUS memiliki aset di atas Rp 40 triliun.
Oleh karena itu OJK saat ini sedang mendorong bank syariah untuk berkonsolidasi. Bahkan, dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia 2023-2027 tertulis pengembangan perbankan syariah dapat didorong melalui alternatif, diantaranya konsolidasi usaha.
"Bentuk konsolidasi dapat dilakukan melalui merger, akuisisi, maupun membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) terintegrasi," seperti yang tertulis dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia 2023-2027 dikutip Selasa (28/11/2023).
Tujuan konsolidasi dilakukan agar entitas perbankan syariah lebih efisien dari sisi jumlah dan memiliki kapasitas yang lebih memadai, baik dari sisi modal, teknologi dan ekspansi pembiayaan. Konsolidasi bank syariah akan diarahkan untuk bisa mengisi bank-bank syariah yang memiliki aset di atas Rp 50 triliun, sehingga dapat lebih mapan dalam berkompetisi di industri perbankan nasional.
Melalui konsolidasi, diharapkan akan terbentuk Bank Umum Syariah dengan kapasitas aset yang memadai. Sehingga struktur industri bank syariah berdasarkan skala usaha akan terdistribusi dengan baik.
Hal tersebut diamini Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo. Menurutnya, industri keuangan syariah memerlukan lebih banyak pemain selain BSI demi mendorong pertumbuhan industri.
"Kalau kita mau mendorong pertumbuhan, there has to be more big players. The more the merrier. Dan dalam konteks ini, kita happy dengan adanya partner baru," ujarnya saat ditemui Republika beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) dikabarkan akan mengakuisisi Bank Muamalat untuk dimerger dengan Unit Usaha Syariah (UUS) miliknya. Menurut Banjaran, langkah konsolidasi ini bisa memperkuat ekosistem keuangan syariah di Indonesia.
"Kalau dalam konteks penguatan ekosistem saya rasa cukup bagus ya, karena kalau kita lihat industri perbankan syariah ini kebanyakan masih di ritel ya," ujarnya.
Menurut Banjaran, setiap melakukan aksi merger yang pertama harus dilihat dan hitung adalah apakah aksi tersebut memberikan nilai tambah. Seperti UUS BTN yang memiliki keunggulan di sektor pembiayaan KPR sementara Bank Muamalat memiliki keunggulan sebagai bank syariah pertama dan punya nilai sejarah.
Corporate Secretary BTN Ramon Armando mengatakan terkait kabar akuisisi kepada Bank Muamalat, dalam 12 bulan mendatang BTN memang memiliki beberapa rencana aksi korporasi, salah satunya melakukan spin off UUS menjadi BUS. Rencana aksi korporasi dimaksud telah tercantum pada rencana bisnis bank (RBB) dan aksi korporasi akan dipublikasikan setelah ada persetujuan dari regulator.
Saat ini BTN memang sedang mempersiapkan opsi untuk melakukan spin off UUS jadi BUS. Adapun, proses spin off terus berjalan dengan mengkaji opsi yang paling efisien, mudah dan cepat dilaksanakan.
Opsi pertama yaitu akan mendirikan perusahaan baru atau meminta lisensi baru untuk BUS. Kemudian opsi kedua yaitu melakukan akuisisi bank syariah yang sudah ada. "Untuk melaksanakan opsi kedua, perseroan sedang melakukan penjajakan dengan beberapa bank syariah yang ada dan terus berkomunikasi untuk mendapatkan penawaran terbaik," ujar Ramon.