REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Salah satu anjuran sunnah yang perlu dilakukan oleh umat Muslim terhadap Muslim lainnya yang sedang dalam masa kritis (sakratul maut) adalah menalqin (membimbing) dengan ucapan la ilaha illallah. Lalu apakah perlu menghadapkan wajahnya ke kiblat juga?
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid menjelaskan, para ulama saling berselisih pendapat tentang kesunnahan menghadapkan mayat atau orang yang sakratul maut ke kiblat.
Menurut sebagian mereka, hal itu hukumnya sunnah. Sebagian lain menganggap hukumnya tidak sunnah. Pendapat yang dikutip dari Imam Malik menyatakan tentang kesunnahan menghadapkan mayat ke arah kiblat, “Hal itu tidak terdapat di dalam ajaran orang-orang terdahulu (salaf).”
Diriwayatkan dari Said bin al-Musayyab, sesungguhnya ia mengingkari perintah menghadap mayat ke arah kiblat. Dan tidak ada satu pun riwayat dari sahabat maupun tabiin yang menjelaskan hal itu.
Ketika seseorang benar-benar telah meninggal dunia, matanya harus dipejamkan. Disunnahkan untuk segera mengubur mayat, hal ini berdasarkan beberapa hadits yang menerangkannya.
Kecuali orang yang meninggal dunia karena tenggelam, maka dianjurkan untuk menunda penguburannya karena dikhawatirkan ia masih hidup lantaran pernapasannya tersumbat air.
Kata al-Qadhi, jika yang berlaku terhadap orang yang meninggal dunia karena tenggelam saja seperti itu, apalagi terhadap orang-orang yang sakit. Seperti yang mengalami penyempitan pembuluh darah dan sebagainya yang banyak diketahui kalangan dokter.
Kata mereka, orang-orang yang jantung dan pernapasannya berhenti sebaiknya mereka baru dikuburkan setelah tiga hari kemudian.