REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Iklim Uni Eropa meminta China dan negara-negara berkembang besar (big developing nations) lainnya untuk menyumbang dana iklim guna membantu negara-negara miskin yang dilanda bencana iklim. Pernyataan ini diungkap menjelang KTT Iklim PBB atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, pada 30 November hingga 12 Desember mendatang.
Wopke Hoekstra, komisioner Uni Eropa untuk aksi iklim, menyatakan bahwa tidak ada alasan lagi untuk mengecualikan negara-negara berkembang dengan emisi gas rumah kaca yang tinggi seperti China dan negara-negara petro states di Teluk, dari kewajiban untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang paling miskin dan paling rentan.
"Kita membutuhkan lebih banyak uang sehingga pada dasarnya kita membutuhkan semua orang yang memiliki kemampuan membayar untuk ikut berkontribusi. Pendanaan iklim, aksi iklim, akan membutuhkan lebih banyak uang. Kita membutuhkan dana dari sektor swasta dan kita membutuhkan lebih banyak lagi dana dari sektor publik,” ujar Hoekstra seperti dilansir The Guardian, Rabu (29/11/2023).
Pertanyaan mengenai keuangan untuk negara-negara miskin akan menjadi pusat perhatian di COP28. Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak; Presiden Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen; Paus dan Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, diperkirakan akan hadir, dan Raja Charles akan memberikan pidato pembukaan.
Sementara itu, Xi Jinping dan Joe Biden, presiden dari dua negara penghasil emisi karbon dioksida terbesar di dunia, Tiongkok dan Amerika Serikat, diperkirakan tidak akan hadir di sana, namun akan mengirimkan perwakilan tingkat tinggi.
Lebih dari 70 ribu delegasi diperkirakan akan hadir. Negara-negara maju dan melepaskan emisi tinggi diharapkan menyiapkan dana baru di COP untuk kerugian dan kerusakan (loss and damage), yang mengacu pada penyelamatan dan rehabilitasi masyarakat miskin dan rentan yang dilanda bencana iklim.
Ratusan miliar dolar AS kemungkinan besar akan dibutuhkan dari berbagai sumber, termasuk sektor swasta dan pemerintah, namun hanya sedikit negara yang telah memberikan komitmennya. Selama beberapa dekade, tidak ada kontribusi keuangan yang diharapkan dari Cina dan negara-negara lain yang digolongkan sebagai negara berkembang ketika konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim, perjanjian induk dari perjanjian Paris, ditandatangani pada tahun 1992.
Kini, Uni Eropa dan negara-negara kaya meminta China serta negara-negara besar beremisi tinggi yang diklasifikasikan sebagai negara berkembang seperti Korea Selatan dan Rusia, serta negara-negara petro dolar seperti UEA, Arab Saudi, dan Qatar untuk menjadi donor.
"Saya mendorong China dan negara-negara lain yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan kekayaan yang benar-benar signifikan daripada 30 tahun yang lalu, bahwa dengan hal ini muncul tanggung jawab,” kata Hoekstra.
Ia juga mendesak negara-negara miskin di Afrika dan Amerika Latin untuk menekan negara-negara kaya dan melepaskan emisi tinggi agar membayar dana iklim tersebut.