Kamis 30 Nov 2023 11:12 WIB

Kesal dengan Qatar yang Selalu Melindungi Hamas, Israel akan Buat Perhitungan

Qatar menjadi mediator dalam pembicaraan pembebasan sandera Hamas dengan Israel.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Nidia Zuraya
Warga menyaksikan helikopter tentara Israel yang membawa warga Israel yang disandera Hamas di helipad Schneider-Childrens Medical Center di Petah Tikva, Israel, Jumat (24/11/2023).
Foto: EPA-EFE/ABIR SULTAN
Warga menyaksikan helikopter tentara Israel yang membawa warga Israel yang disandera Hamas di helipad Schneider-Childrens Medical Center di Petah Tikva, Israel, Jumat (24/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Israel memilih untuk sementara waktu mengesampingkan perbedaan pendapatnya dengan Qatar selama perundingan dengan Hamas. Namun, Israel mengakui mulai beri perhitungan dan akan “menyelesaikan masalah” dengan negara Teluk tersebut setelah perang di Gaza berakhir.

Hal ini disampaikan seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Israel pada Rabu (29/11/2023). Israel merasa kesal dengan Qatar yang selama ini telah memfasilitasi tempat berlindung bagi para pemimpin dan pejabat Hamas di luar negeri. Sebagaimana Doha setuju untuk menjadi tuan rumah negosiasi, sekaligus kantor utama Hamas pada 2012.

Baca Juga

Padahal, hal itu atas permintaan Amerika Serikat untuk menjaga saluran komunikasi dengan kelompok pejuang militan Palestina tersebut. Dalam sebuah wawancara di Radio Angkatan Darat Israel, Wakil Direktur Jenderal Urusan Strategis di Kementerian Luar Negeri Israel, Joshua Zarka, mempertanyakan peran Qatar dalam segala hal yang berkaitan kedekatannya dengan Hamas.

Posisi Qatar yang menjadi tuan rumah negosiasi, seolah melegitimasi "kegiatan Hamas.” Karena itu menurutnya Israel perlu menilai kembali hubungan dengan Qatar tersebut setelah perang selesai. 

“Saat ini kami membutuhkan mereka. Tapi ketika hal ini berlalu, kami akan menyelesaikan masalah dengan mereka,” kata Zarka.

Doha telah memainkan peran penting dalam melakukan mediasi dengan Hamas dan Israel, memfasilitasi gencatan senjata kemanusiaan. Qatar memediasi kesepakatan gencatan senjata selama empat hari yang mulai berlaku pada hari Jumat, 24 November pukul 07.00 waktu Gaza dan telah diperpanjang dua hari lagi hingga Kamis (30/11/2023) pagi.

Qatar tidak memiliki hubungan resmi dengan Israel dan telah berulang kali menegaskan kembali pendiriannya terhadap normalisasi hubungan diplomatik dengan negara pendudukan ini. Posisi Qatar tidak seperti negara-negara Teluk Arab lainnya seperti Uni Emirat Arab dan Bahrain.

Doha juga menjadi tuan rumah kantor politik Hamas sejak tahun 2012, menyusul permintaan dari Washington untuk membangun saluran komunikasi. Qatar menegaskan kantor Hamas yang berbasis di Doha berfungsi sebagai lembaga yang didedikasikan untuk upaya perdamaian.

Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani membela kantor Hamas pada tanggal 14 Oktober, dan mengatakan bahwa ini adalah cara “berkomunikasi dan membawa perdamaian dan ketenangan di wilayah tersebut.”

Jumat lalu, jurnalis Prancis Georges Malbrunot melaporkan bahwa Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diduga telah menyampaikan kepada Doha bahwa Mossad, badan intelijen Israel, tidak akan melakukan pembunuhan di dalam perbatasan negara Teluk tersebut.

Malbrunot mengatakan sumber mengatakan kepadanya bahwa Qatar menetapkan kondisi ini sebelum mengambil perannya sebagai mediator perundingan gencatan senjata antara rezim Israel dan kelompok perlawanan.

Netanyahu sebelumnya telah memberikan perintah kepada Mossad untuk membunuh pejabat senior Hamas, sebuah sumber rahasia yang mengetahui rahasia masalah tersebut dan dirinci kepada Malbrunot.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement