Jumat 01 Dec 2023 17:26 WIB

Ditanya Soal Penggunaan Buzzer di Politik, Anies: Merusak Sekali

Anies menekankan perlunya objektivitas dalam menyikapi isu-isu politik.

Rep: Eva Rianti/ Red: Agus raharjo
Capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan dalam konferensi pers usai menghadiri agenda Dialog Pers dan Capres dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023).
Foto: Republika/Eva Rianti
Capres Koalisi Perubahan Anies Baswedan dalam konferensi pers usai menghadiri agenda Dialog Pers dan Capres dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon presiden (capres) Koalisi Perubahan Anies Baswedan mengaku dirinya tidak menggunakan buzzer saat memimpin Jakarta pada periode 2017-2022. Alih-alih mempromosikan politikus dan visi misinya, menurut Anies, budaya penggunaan buzzer dalam dunia politik justru bersifat merusak.

 

Baca Juga

Hal itu disampaikan Anies saat menghadiri agenda 'Dialog Pers dan Capres dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)' di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (1/12/2023). Dalam kesempatan itu, panelis Marthen Selamet Susanto menanyakan kepada Anies mengenai maraknya buzzer dalam ruang lingkup dunia politik.

 

Anies langsung menjawab pertanyaan tersebut dengan menyampaikan bahwa dirinya tidak menggunakan buzzer saat menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 yang lalu.

 

"Kalau kemarin pakai buzzer enggak babak belur kayak begini. Kan justru kami apa adanya, enggak pakai buzzer. Bahkan natural," kata Anies sambil tertawa kecil, Jumat (1/12/2023).

 

Sistem buzzer, menurut dia, merupakan mesin yang dahsyat untuk memutarbalikkan fakta. Secara pribadi dia berharap agar dengan caranya yang natural tanpa buzzer bisa menguak kenyataan atau fakta.

 

"Kami enggak pakai buzzer saat di Jakarta jadi kami merasa ke depan juga enggak akan dipakai. Menurut saya itu merusak, merusak sekali," ujar dia.

 

Anies berharap adanya dukungan dari berbagai pihak untuk mengawalnya, terutama media. Dia mengaku ingin kebebasan berpendapat terus terjadi, namun tidak kebablasan. Dia menekankan perlunya objektivitas dalam menyikapi isu-isu politik.

 

"Kami malah menemukan pribadi-pribadi objektif yang dulunya mengambil posisi mengkritik dan berseberangan kemudian mereka melihat kenyataan dan secara objektif menyampaikan apa adanya," tutur Anies.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement