REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sekitar 204 juta data pemilih di KPU bocor lagi. Kali ini diduga dilakukan oleh "Jimbo". Tahun lalu data KPU juga pernah bocor oleh "Bjorka". Data-data itu dijual di darkweb dengan harga 74 ribu dollar Amerika atau sekitar Rp 1,2 miliar.
Data yang bocor meliputi NIK, nomor KK, nomor KTP (berisi nomor paspor untuk pemilih yang berada di luar negeri), nama lengkap, jenis kelamin, tanggal lahir, tempat lahir, status pernikahan, alamat lengkap, RT, RW, kodefikasi kelurahan, kecamatan dan kabupaten serta kodefikasi TPS.
Menkominfo Budi Arie Setiadi menyatakan di media bahwa data yang bocor itu data biasa, data KPU. Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta, mengatakan bahwa kebocoran data tersebut merupakan sebuah malapetaka bagi rakyat dan demokrasi.
"Ini malapetaka untuk rakyat dan demokrasi. Kok malah dibilang data biasa. Kita sudah mengesahkan UU PDP (perlindungan data pribadi, Red) tahun 2022 lalu. Kita anggap sangat urgent UU PDP saat itu, karena kebocoran data terus terjadi. Kita anggap kejadian-kejadian tersebut berbahaya untuk bangsa kita. Pernyataan pak Menteri seolah menyepelekan hal itu. Peretasan sistem elektronik yang dimiliki lembaga pemerintah dan kebocoran data pribadi itu sangat bahaya. Bukan hanya terkait motif ekonomi, tapi ini bisa mengacaukan proses Pemilu 2024," kata Sukamta dalam siaran persnya, Ahad (3/11/2023),
Sukamta yang dulu juga sebagai anggota Panja RUU PDP ini menambahkan bahwa dalam UU PDP Pasal 1 data pribadi didefinisikan sebagai data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.
"Data KPU yang bocor itu cukup lengkap, mulai dari NIK sampai nomor KK. Jelas ini masuk kategori data pribadi, karena bisa mengidentifikasi seseorang. Lebih spesifik lagi ini masuk dalam kategori data pribadi yang bersifat umum. Sangat rawan disalahgunakan untuk kepentingan ekonomi dan bisnis. Terlebih bila data yang bocor adalah data yang dikelola oleh lembaga publik, potensi dampaknya bisa mengganggu penyelenggaraan negara," katanya.
Karena itu, wakil rakyat dari Yogyakarta ini, menekankan dua hal. "Pertama, pejabat publik dalam hal ini Menteri Kominfo, jangan membuat pernyataan yang kontraproduktif dan terkesan menyepelekan apa yang selama ini sudah kita upayakan, yaitu pelindungan data pribadi dalam bentuk UU. Kedua, pemerintah segera menyelesaikan peraturan-peraturan turunan dari UU PDP, khususnya Presiden harus segera menerbitkan Perpres tentang pembentukan lembaga otoritas pengawas PDP agar segera bisa melakukan fungsi pengawasan pelindungan data pribadi. Jangan sampai UU ini tumpul karena badan penyelenggaranya belum ada," ujarnya.