Senin 04 Dec 2023 08:20 WIB

Intelijen dan Mata-Mata dalam Fikih Islam

Istilah mata-mata atau intelijen dalam Islam disebut dengan tajassus.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Mata - mata  atau intelijen (ilustrasi)
Foto: Dok. Www.freepik.com
Mata - mata atau intelijen (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Kegiatan mata-mata lumrah dilakukan dalam dunia militer. Kegiatan mata-mata penting untuk mengetahui kekuatan lawan terutama dalam perang. Apakah kegiatan memata-matai diperbolehkan dalam Islam? 

Istilah mata-mata dalam Islam disebut dengan tajassus. Tujuannya untuk menyelidiki kekuatan musuh mulai dari taktik, kekuatan personel, perbekalan untuk melaporkan kepada pemimpin pasukan. Orang yang menyelidiki rahasia atau keadaan orang lain disebut mata-mata (al kasus). Kontek mata-mata yang dibahas di sini adalah dalam peperangan, bukan sebagai kegiatan mengetahui kejelekan orang lain dan membeberkannya untuk orang lain, sebab hal tersebut dilarang dalam Islam. Allah berfirman: 

Baca Juga

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا…

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain … (Al Hujurat ayat 12). 

Lalu bagaimana hukumnya mata-mata dalam Islam? Hafidz Muftisany dalam bukunya Fikih Keseharian: Hukum Menunda Sholat Hingga Hukum Mata-mata yang diterbitkan Intera pada 2021 menjelaskan bahwa terkait hukum mata-mata dalam konteks siasat peperangan, para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian. 

Pertama, hukum orang Islam memata-matai keadaan musuh. 

Para ulama sepakat soal kebolehan seorang pemimpin kaum mukminin mengirimkan seseorang untuk menyusup ke daerah musuh dan menyelidiki kekuatan musuh.

Tujuan dari penyelidikan ini adalah mengetahui taktik musuh dan memenangkan peperangan agar umat Islam tidak mendapatkan kehancuran. Dasar dari kebolehannya adalah surah Al Baqarah ayat 195:

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Alquran surat Al Baqarah 195). 

Hafidz Muftisany menjelaskan umat Islam wajib memelihara jiwa dan mempertahankan eksistensi agama Allah SWT. Tujuan itu digariskan oleh Allah SWT dengan jihad dalam upaya menghadapi bahaya yang ditimbulkan oleh pihak yang tidak senang dengan agama Allah SWT. Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (Al Baqarah ayat 190). 

Mata-mata menjadi salah satu elemen kekuatan dalam menghadapi kekuatan musuh. Umat Islam diperintahkan untuk menyiapkan kekuatan apa saja untuk menghadapi musuh yang memerangi mereka. Hal itu termaktub dalam surah al-Anfal ayat 60.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

Artinya: Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Al Anfal ayat 60)

“Selain perintah Allah, perbuatan mata-mata saat perang juga pernah dicontohkan dalam sirah Rasulullah SAW saat Perang Badar. Saat itu, Rasulullah mengutus 12 orang yang dikepalai Abdullah bin Ubay Hadrad untuk menyelidiki kekuatan musuh. Dari ekspedisi mata-mata tersebut didapatkan laporan bahwa kekuatan musuh mencapai 1.000 orang, terdiri atas 300 orang pasukan berkuda dan 700 orang pasukan berunta,” (Lihat Fikih Keseharian: Hukum Menunda Sholat Hingga Hukum Mata-mata, Penerbit Intera, 2021)

Nabi SAW sendiri saat Perang Badar juga melakukan fungsi mata-mata. Saat itu, Nabi SAW bersama beberapa sahabat menunggang kuda mengelilingi medan Badar yang akan menjadi tempat pertempuran. Lalu, lewatlah seorang Arab. Nabi Muhammad SAW pun menyamar menjadi orang biasa dan menanyakan kepada orang Arab tersebut keadaan pasukan musuh dan pasukan kaum Muslimin.

Kedua, hukumnya memata-matai umat Islam. Bahasan ini pun dibagi menjadi dua hal. Pertama, orang Islam yang memata-matai kekuatan umat untuk dilaporkan ke musuh. Kedua, orang kafir yang memata-matai umat Islam.

Hukum orang Islam yang memata-matai umat Islam sendiri adalah haram. Soal jenis hukumannya ada perbedaan pendapat. Sebagian ulama menghukuminya dengan hukum takzir, yakni jenis dan jumlahnya diserahkan kepada pengadilan.

Hal itu berdasarkan pada kisah Hathib bin Balta'ah yang mengirimkan pesan kepada kaum musyrik Makkah lewat seorang kurir wanita. Kejadian itu terbongkar berkat informasi dari Rasulullah SAW. Rasulullah menolak hukuman mati untuk Hathib yang diusulkan oleh Umar bin Khattab RA dan menyerahkan jenis hukuman kepada kaum Muslimin.

Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat lain. Menurut dia, seorang Muslim yang memata-matai umat Islam untuk dilaporkan kepada musuh bisa dijatuhi hukuman mati. Ibnu Hajar juga berdalil pada hadis soal Hathib.

Menurut Ibnu Hajar, Hathib mendapatkan keistimewaan hukuman berupa takzir karena ia adalah ahli Badar seperti yang disabdakan Rasulullah SAW. Sementara itu, yang lain tidak mendapatkan keistimewaan tersebut.

Soal orang kafir yang memata-matai umat Islam pun hukumnya dibagi menjadi dua. Pertama, untuk kafir harbi, yakni yang memerangi umat Islam. Kedua, kafir zimi yang terikat perjanjian dengan umat Islam.

Para ulama sepakat, jika yang memata-matai umat Islam adalah kafir harbi, ia bisa dijatuhi hukuman mati. Namun, jika yang memata-matai termasuk kafir zimi, pendapat para ulama terbelah. Sebagian ulama sepakat, meski terikat perjanjian dengan umat Islam, kafir zimi yang terbukti memata-matai umat Islam bisa dijatuhi hukum mati. Sementara itu, Imam Malik dan Abdurrahmah al-Auzai mengatakan, kafir zimi yang memata-matai tidak boleh dibunuh, tapi status perjanjian dan hak dia untuk dilindungi menjadi batal. 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement