Rabu 06 Dec 2023 13:44 WIB

ICRC Hadapi Kemarahan Warga Israel atas Nasib Sandera di Gaza

125 sandera Israel masih berada di Gaza.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Warga Israel menyambut suka cita pembebasan warga Israel yang menjadi sandera Hamas di Tel Aviv, Israel, Jumat (24/11/2023).
Foto: AP Photo/Ariel Schalit
Warga Israel menyambut suka cita pembebasan warga Israel yang menjadi sandera Hamas di Tel Aviv, Israel, Jumat (24/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- “Palang Merah, kamu di mana?” Itu adalah pesan sedih pada sebuah tanda yang dipajang pada sebuah rapat umum yang diadakan untuk menekan pemerintah Benjamin Netanyahu agar memprioritaskan pembebasan 125 sandera, baik hidup maupun mati, yang masih ditahan oleh Hamas di Gaza.

Kepedihan, kemarahan, dan frustrasi warga Israel terhadap penahanan warga sipil dan serangan tentara yang terus berlanjut di Gaza. Kini rasa frustasi itu ditujukan kepada Komite Internasional Palang Merah (ICRC) yang menengahi pembebasan sandera.

Baca Juga

Para keluarga sandera dan warga Israel menuduh ICRC gagal mengunjungi sandera, tidak memberikan obat-obatan dan secara umum mengacaukan mandat netralitas dengan sikap pasif yang berlebihan terhadap Hamas. Bagi juru bicara ICRC yang berbasis di Yerusalem Sarah Elizabeth Davies, kemarahan tersebut dapat dimengerti tetapi salah arah.

“Kami benar-benar memahami rasa frustrasi, kemarahan, kekesalan, patah hati sejak 7 Oktober, tapi Israel salah memahami peran Palang Merah," ujar Davies dalam episode podcast Haaretz Weekly.

Davies menegaskan, ICRC menempatkan diri sebagai perantara yang netral, organisasi yang tidak memihak, dan independen. Namun, laporan dan cerita tentang nasib sandera yang sudah lanjut usia, sakit, atau terluka parah, membuat ketakutan yang semakin besar dan meningkatkan ekspektasi terhadap ICRC.

Bagi Davies, batasan mandat ICRC perlu diperjelas. Mereka hanya dapat bertindak jika ada persetujuan dari pihak-pihak yang bertikai.

“Kami tidak bisa memaksa masuk, kami tidak punya senjata dan tidak punya kekuatan politik. Kami tetap netral, sehingga kami bisa dipercaya. Dan ini bukanlah sesuatu yang selalu mudah dipahami, khususnya dalam realitas emosional sebuah," ujar Davies.

Davies menekankan bahwa netralitas tidak boleh disalahartikan sebagai sikap pasif. “Meskipun terkadang kami disalahpahami, kami memahami gawatnya situasi ini,” katanya.

“Kami terus-menerus mendorong pembebasan segera [para sandera Israel] dan memberikan akses kepada mereka. Dan kami berharap seruan kami untuk pembebasan mereka akan dijawab," kata perwakilan ICRC ini.

Banyak pihak berharap perwakilan ICRC dapat mengunjungi sandera dan menyampaikan obat-obatan serta pesan dari keluarga. Namun, terdapat kesenjangan pengetahuan tentang tindakan yang sebenarnya dapat dilakukan oleh organisasi kemanusiaan netral tanpa persetujuan dari kedua pihak.

Jonathan Adiri menjabat selama lima tahun sebagai kepala penghubung Angkatan Pertahanan Israel dengan ICRC menyatakan, hubungan Israel dengan ICRC mengalami pasang surut. Secara historis, kontak terkait dengan pembebasan sandera perang Israel, dalam beberapa dekade terakhir, perselisihan meningkat ketika ICRC ditugaskan menawarkan bantuan kepada warga Palestina di Tepi Barat.

Adiri memahami kemarahan warga Israel, tetapi menolak menyalahkan organisasi tersebut atas nasib para sandera. “ICRC dipanggil ketika tidak ada kepercayaan di antara kedua belah pihak. Netralitas mereka sangat penting. Fakta bahwa ada sebuah organisasi dengan daya dukung yang cukup untuk menerima sandera kami [dari Hamas] dan membawa mereka ke tempat aman bukanlah hal yang bisa dianggap enteng," ujarnya

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement