REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) memiliki posisi berbeda dalam menanggapi konflik antara Israel dan kelompok Hamas Palestina di Jalur Gaza. Meski, Jakarta dan Seoul merupakan negara dengan kekuatan menengah atau middle powers.
Sepanjang konflik Israel dan Palestina, Indonesia vokal dan tegas menyerukan pembelaan atas kemerdekaan Palestina. Dalam sejarahnya pun, posisi Indonesia terhadap Gaza di Palestina konsisten membela.
Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra menjelaskan, bahwa Pemerintah Indonesia memiliki cara diplomasinya sendiri ketika menegaskan posisi sebagai negara dengan kekuatan menengah atau middle power nation. Kendati begitu, negara middle power seperti Korsel bisa saja memiliki cara berbeda dalam menanggapi konflik Gaza.
"Bukan berarti negara middle power atau kekuatan menengah juga harus memiliki posisi yang sama di banyak isu. Jadi yang paling penting, menurut saya, tentu saja adalah kepentingannya sendiri dalam beberapa hal, seperti nilai-nilainya, posisi dalam banyak persoalan dan kita dapat melihat perbedaan antara Korea Selatan dan Indonesia dalam kasus ini," ujar Radityo dalam lokakarya yang dihelat Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di Bengkel Diplomasi, Gedung Mayapada, Jakarta pada Jumat (8/12/2023).
Menurut Radityo, keberpihakan Indonesia kepada Palestina tegas sejak dulu. Meski, menurutnya kecaman terhadap Israel saja tidak cukup untuk mengubah situasi di Gaza atau membantu warga yang terdampak kerang di Jalur Gaza.
Oleh karenanya, Radityo menilai Indonesia sebagai negara kekuatan menengah harus menjalankan visi dan strategi multilateralisme di berbagai forum, terutama di PBB. Indonesia harus selalu mendorong terciptanya resolusi untuk rakyat Palestina di Gaza.
"Jadi kita mungkin dapat memperdebatkan apakah Majelis Umum PBB berperan efektif dalam menyelesaikan isu ini, dan Indonesia telah mendorong banyak resolusi mengenai Gaza," tutur dia.
Asisten Profesor Jurusan Studi Lintas Budaya dan Kawasan University of Copenhagen, Jin Sangpil mengatakan, bahwa Korsel berada di posisi sulit dalam menyikapi konflik dan isu di daerah kantong Palestina itu. Menurutnya, sebagai sekutu Amerika Serikat (AS), Korsel juga turut menjaga hubungan dengan Israel, meski Korsel bergantung juga pada negara-negara Timur Tengah.
"Kendati, pada saat bersamaan Seoul juga bergantung pada negara-negara Timur Tengah untuk seperti sepak bola, dan pasokan minyak dan gas. Jadi, menurut saya strategi Pemerintahan Korsel saat ini masih berhati-hati dalam merespon isu sensitif terkait Palestina dan Israel," ujar Jin dalam kesempatan yang sama.
"Dan itu menurut saya mungkin itulah salah satu alasan mengapa Korea Selatan kurang vokal dalam isu ini," imbuh dia.
Lebih dari 17 ribu orang tewas di Gaza dalam penembakan dan serangan udara Israel yang tanpa henti, menurut data resmi dari otoritas Gaza. Sekitar 70 persen korban meninggal adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 46 ribu lainnya terluka. Sekitar 1,8 juta warga Palestina menjadi pengungsi internal.
Israel memulai perang tersebut sebagai pembalasan terhadap kelompok Palestina, Hamas, yang melakukan serangan lintas batas pada 7 Oktober yang menewaskan 1.200 warga Israel. Sekitar 240 orang lainnya dibawa kembali ke Gaza sebagai sandera.