Senin 11 Dec 2023 14:55 WIB

Apindo Jabar Prihatin Banyak Perusahaan di Jabar Relokasi dan Gulung Tikar

Setidaknya sudah ada lima perusahaan selama 2023 yang melakukan relokasi ke daerah la

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik.
Foto: Istimewa
Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, prihatin dengan banyaknya perusahaan gulung tikar di Jabar. Apindo mencatat adanya perpindahan pabrik yang selama ini beroperasi di Jawa Barat. 

Menurut Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik, pabrik tersebut menutup operasionalnya dan memindahkan ke daerah yang upahnya lebih rendah. "Selain itu, banyak juga perusahaan gulung tikar karena memang tidak mampu mendapatkan penghasilan sesuai," ujar Ning Wahyu Astutik, Senin (11/12/2023).

Apindo Jawa Barat mencatat, kata dia, setidaknya sudah ada lima perusahaan selama 2023 yang melakukan relokasi ke daerah lain. 

Perusahaan tersebut, kata Ning, berada di Karawang, Sukabumi, Purwakarta, dan Bogor. Mayoritas berbisnis di sektor alas kaki dan garmen dengan total pekerja lebih dari 14 ribu.

"Perusahaan itu adalah perusahaan padat karya yang tentu saja berjumlah ribuan karyawan per perusahaan, bukan lagi ratusan," katanya.

Ning mengatakan, pihaknya cukup prihatin dengan kondisi ini karena dampaknya akan membuat jumlah pengangguran di Jawa Barat meningkat. Berdasarkan data yang dihimpun Apindo Jabar, kata dia, realisasi investasi di Jawa Barat masih bagus. Dalam lima tahun terakhir angkanya di atas Rp 100 triliun, pada 2022 di angka Rp 174,58 triliun.

Namun, kata dia, kondisi ini berbanding terbalik dengan serapan tenaga kerja dengan hitungan investasi di atas Rp 1 triliun. Penyerapan tenaga kerja per investasi Rp 1 triliun pada 2022 hanya mencapai 1.050 orang. Kondisi ini mengalami penurunan sejak 2017 yang hanya 1.808, di mana pada 2016 jumlahnya mencapai 3.486 orang.

"Memang Jabar miliki realisasi investas tertinggi dibandingkan provinsi lain, tapi terjadi penurunan daya serap tenaga kerja dibandingkan beberapa tahun sebelumnya karena yang masuk itu investasi padat modal, bukan padat karya," ujarnya.

Dengan kondisi ini, kata dia, mau tak mau para pekerja di Jawa Barat harus mulai bisa meningkatkan keterampilan agar bisa bekerja di industri padat modal yang berteknologi tinggi. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah angkatan kerja di Jabar masih didominasi lulusan sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA/SMK).

Hal ini, kata dia, dikhawatirkan bisa menjadi bumerang untuk perkembangan industri di Jabar. Karena, sektor padat karya persaingannya luar biasa bukan hanya di regional, tapi dalam skala internasional.

"Dengan melemahnya pasar dan persaingan ketat, maka buyer (pembeli) memilih produsen dengan biaya termurah atau yang paling kompetitif," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran terbuka di Jabar masih naik turun. Pada 2018 angkanya mencapai 8,23 persen yang kemudian naik pada 2020 hingga 10,46 persen.

Perlahan angka tersebut pun turun lagi hingga pada 2023 sudah mencapai 7,44 persen. Daerah tertinggi justru ditempati Kota Cimahi dengan 10,52 persen di mana daerah ini sebenarnya dijejali industri padat karya dari tekstil dan produk tekstil (TPT).

Ning menilai, Provinsi Jabar memang harus mulai fokus juga pada pariwisata dan ekonomi kreatif dan UMKM. Namun, semua butuh proses, dan belum mampu menyerap tenaga kerja yang di layoff oleh industri padat karya. 

"Selain itu, harus fokus pada pengembangan SDM, sehingga nantinya mampu bekerja di sektor industri dengan sistem digital dan teknologi tinggi, yang sekarang sudah mulai masuk di Jabar," kata Ning seraya mengatakan Apindo siap membantu pemerintah melakukan mapping kebutuhan SDM di industri-industri yang berinvestasi di Jabar. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement