REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK menjadi penyelenggara diskusi yang membahas usulan Indonesia untuk memperbarui metode perhitungan pengurangan emisi dan gas rumah kaca dari perubahan tinggi muka air tanah di lahan gambut.
Metode perhitungan ini merupakan panduan Pemerintah dalam melaporkan inventarisasi gas rumah kaca nasional setiap negara, yang terdiri dari perkiraan emisi dan serapan gas rumah kaca. Hal ini merupakan pemenuhan komitmen terhadap Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), termasuk di dalamnya seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris (Paris Agreement).
“Diskusi hari ini kita ingin menegaskan bahwa dalam inventarisasi dan reduksi emisi Gas Rumah Kaca, penting untuk memasukkan data capaian pemulihan Ekosistem Gambut, khususnya upaya pembasahan yang direpresentasikan dengan data hasil pemantauan TMAT," kata Wakil Menteri LHK, Alue Dohong melalui pernyataan tertulis, Rabu (13/12/2023).
Menurut dia hal ini penting karena perhitungan yang dilakukan secara komprehensif yang dapat dikategorikan sebagai metodologi Tingkat Tiga (Tier-3).
Wamen LHK Alue Dohong mengatakan, konsep dasar pengusulan metode tersebut, adalah memasukkan upaya restorasi ekosistem gambut yang bertujuan mengembalikan air dengan pembasahan kembali. Saat ini, catatan atau data dari aktivitas pembasahan ekosistem gambut belum termasuk dalam metode pengkuran tingkat tiga.
Hal ini penting, berdasarkan publikasi IPCC, pengukuran tingkat tiga merupakan metode yang lebih akurat dan mempertimbangkan kompleksitas dan persyaratan data yang cukup dominan.
Data-data yang hasil pengukuran yang dilakukan dapat membangun Faktor emisi khusus Indonesia. Selain itu, lanjut Wamen LHK, upaya pembasahan lahan gambut juga penting untuk menentukan status kerusakan ekosistem ini. Ekosistem gambut terdiri dari 90 persen air, dan peran air di lahan gambut sangat penting untuk mengurangi potensi proses dekomposisi yang merupakan sumber emisi metana dan nitrous oxide, dan karbon dioksida, ketika lahan gambut dikeringkan, terdegradasi dan terbakar.
Dijelaskan, meningkatkan pengelolaan air pada lahan gambut yang terdegradasi dapat dilakukan melalui pembangunan sekat kanal, pemantauan muka air tanah di lapangan secara terus menerus dan real time serta memanfaatkan data citra satelit, pengembangan Fire Danger Rating System (FDRS), serta pengembangan data base dan sistem informasi yang handal.
Melaksanakan pemantauan tinggi air tanah secara terus menerus dan real time pada lahan gambut yang terdegradasi, sebelum dan sesudah kegiatan restorasi, sangat penting untuk mendapatkan seri data untuk menunjukkan efektivitas tata kelola air dan peningkatan kualitas ekosistem gambut.
Pemantauan data muka air tanah secara terus menerus dan real time merupakan faktor kunci dalam merumuskan model atau pola algoritma tertentu tingkat ketiga, berdasarkan data dari pemantauan GWL langsung di lapangan.