Senin 18 Dec 2023 15:05 WIB

Dalih Eddy Hiariej Soal Uang Rp 7 Miliar yang Buat Dia Jadi Tersangka di KPK

Lewat jalur praperadilan, Eddy meminta PN Jaksel batalkan status tersangkanya.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Andri Saubani
Wamenkumham yang saat ini juga berstatus sebagai tersangka Edward Omar Sharif Hiariej usai diperiksa sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (4/12/2023). Eddy Hiariej dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka lain dalam kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.
Foto: Republika/Prayogi
Wamenkumham yang saat ini juga berstatus sebagai tersangka Edward Omar Sharif Hiariej usai diperiksa sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (4/12/2023). Eddy Hiariej dimintai keterangan sebagai saksi untuk tersangka lain dalam kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tersangka eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM), Edward (eddy) Hiariej, membantah tuduhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 7 miliar. Menurut Eddy, uang tersebut merupakan komitmen fee atas jasa konsultasi hukum yang diterima oleh tersangka Yosi Andika Mulyadi yang merupakan seorang pengacara.

Uang tersebut dikatakan Eddy, atas pemberian dari PT Citra Lampia Mandiri (CLM) dan PT Asia Pacific Mining Resources (APMR). Hal tersebut disampaikan Eddy, melalui memori permohonan praperadilan yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Baca Juga

Praperadilan ajuan Eddy, mulai sidang perdana Senin (18/12/2023) dengan agenda pembacaan permohonan. Ada sembilan permohonan yang diajukan Eddy, bersama dua tersangka lain, yakni Yosi, dan Yogi Arie Rukaman selaku asisten pribadi Eddy saat menjabat Wamenkum HAM.  

Paling utama, yaitu meminta hakim praperadilan memerintahkan KPK agar membatalkan status tersangka. Dan lainnya meminta KPK menghentikan penyidikan yang menyeret Eddy, beserta Yosi, dan Yogi sebagai tersangka.

Dalam halaman 15 permohonan praperadilan tersebut, tim pengacara Eddy pada angka ke-22 dan ke-23 menguaraikan perihal inti perkara yang menyeret guru besar hukum pidana itu menjadi tersangka korupsi penerimaan suap, dan gratifikasi. Disebutkan, bahwa kasus tersebut berdasarkan atas pelaporan Indonesia Police Watch (IPW) pada 14 Maret 2023 kepada KPK.

“Bahwa kasus dugaan gratifikasi atau suap yang dilaporkan oleh IPW kepada termohon (KPK) adalah terkait adanya aliran dana sebesar Rp 7 miliar, dari klien pemohon tiga (Yosi) yang menurut termohon patut diduga merupakan gratifikasi atau suap untuk diberikan kepada pemohon satu (Eddy),” kata pengacara Eddy, Muhammad Lutfie, saat sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (18/12/2023).

Namun dijelaskan dalam memori praperadilan itu, bahwa sebetulnya aliran dana tersebut adalah merupakan komitmen fee atas jasa konsultasi hukum yang diterima Yosi selaku pengacara dari PT CLM dan PT APRM. “Pada faktanya aliran dana yang diduga oleh termohon merupakan gratifikasi atau suap kepada pemohon satu (Eddy) adalah merupakan lawyer fee dari klien pemohon tiga (PT CLM dan PT APRM) kepada pemohon tiga (Yosi),” kata Lutfie.

Hal tersebut, kata Eddy, melalui tim hukumnya dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat penyerahan kuasa dan jasa konsultasi hukum antara Yosi, dan dua perusahaan tersebut. “Bahwa klien pemohon tiga (PT CLM dan PT APRM) telah menunjuk pemohon tiga (Yosi) untuk menjadi kuasa hukum atau penasihat hukum dalam menangani permasalahan yang sedang dialami oleh PT CLM dan PT APMR,” kata Lutfie.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement