REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pencarian anak SD berusia 12 tahun yang hilang di Bandung, Jawa Barat berakhir. Setelah sebulan menghilang, bocah tersebut ditemukan bersama seseorang yang dikenalnya secara daring.
Terungkap bahwa bocah tersebut dijual pada puluhan pria hidung belang. Sebelum dijual, korban juga sempat disetubuhi oleh pelaku.
Apa sebenarnya yang menyebabkan orang tertarik secara seksual dengan anak-anak (pedofil)? Penelitian di balik pedofil dinilai cukup rumit. Ada bukti bahwa itu merupakan bawaan lahir dan bersifat neurologis.
Seorang psikolog klinis sekaligus peneliti seks, James Cantor, mengatakan pedofilia adalah ketertarikan pada anak-anak, namun tidak semua pelaku pelecehan seksual terhadap anak adalah pedofil. "Beberapa pedofil tidak pernah melakukan pelecehan terhadap anak-anak," demikian menurut para ahli, seperti dilansir dari USA Today, Jumat (22/12/2023).
Beberapa orang yang melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak tidak menyukai mereka secara seksual, tetapi menggunakan mereka sebagai pengganti pasangannya yang sudah dewasa. "Ada penganiaya anak dan pedofil. Jika Anda memikirkan diagram Venn, ada banyak tumpang tindih," kata Anna Salter, seorang psikolog, penulis, dan pakar yang diakui secara internasional yang telah melakukan lebih dari 500 evaluasi terhadap pelaku kejahatan seksual berisiko tinggi.
Ada orang-orang yang tertarik secara seksual kepada anak-anak dan kemudian menganiaya anak-anak, tetapi bukan pedofil. Mereka menganiaya anak-anak karena marah disebabkan takut pada wanita dewasa.
Menurut laman Psychology Today, pedofilia adalah ketertarikan seksual yang berkelanjutan terhadap anak-anak prapubertas. Itu adalah paraphilia, suatu kondisi di mana gairah dan kepuasan seksual seseorang bergantung pada objek, aktivitas, atau bahkan situasi yang dianggap tidak lazim.
Pelaku pelecehan seksual pedofil biasanya adalah keluarga, teman, atau kerabat korbannya. Jenis aktivitas pedofil bervariasi, dan mungkin termasuk hanya melihat seorang anak atau membuka baju dan menyentuh seorang anak. Namun, tindakannya sering kali melibatkan seks oral atau menyentuh alat kelamin anak atau pelakunya.
Penelitian menunjukkan anak-anak yang merasa tidak diperhatikan atau kesepian mungkin berisiko lebih tinggi mengalami pelecehan seksual. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5), gangguan pedofilia dapat didiagnosis jika ada kriteria sebagai berikut:
-Fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang berulang dan intens dengan anak praremaja (umumnya berusia 13 tahun atau lebih muda) selama minimal enam bulan.
-Dorongan seksual ini telah dilakukan atau telah menyebabkan tekanan atau gangguan yang signifikan dalam bidang sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.
-Orang tersebut setidaknya berusia 16 tahun, dan setidaknya lima tahun lebih tua dari anak yang melakukan perilaku seksual bersama orang tersebut. Hal ini tidak termasuk individu pada masa remaja akhir yang terlibat dalam hubungan seksual berkelanjutan dengan anak berusia 12 atau 13 tahun.
-Diagnosis gangguan pedofilia harus menentukan apakah individu tersebut secara eksklusif tertarik pada anak-anak atau tidak, jenis kelamin yang membuat individu tersebut tertarik, dan apakah dorongan seksual tersebut terbatas pada anak-anak di keluarga orang tersebut.
Terdapat beberapa bukti bahwa pedofilia dapat diturunkan dalam keluarga, meskipun tidak jelas apakah hal ini berasal dari genetika atau perilaku yang dipelajari. Riwayat pelecehan seksual pada masa kanak-kanak merupakan faktor potensial lainnya dalam perkembangan pedofilia, meskipun hal ini belum terbukti. Pedofilia mungkin merupakan kondisi seumur hidup, namun gangguan pedofilia mencakup unsur-unsur yang dapat berubah seiring berjalannya waktu, termasuk tekanan, gangguan psikososial, dan kecenderungan individu untuk bertindak berdasarkan desakan.
Pengobatan gangguan pedofil dapat mencakup terapi perilaku dan pengobatan. Perawatan ini dapat mengurangi dorongan dan kemungkinan untuk mengatasinya, namun kondisi pedofil seringkali merupakan kondisi seumur hidup.
Terapi kognitif mencakup restrukturisasi distorsi kognitif dan pelatihan empati. Restrukturisasi distorsi kognitif melibatkan koreksi pemikiran pedofil bahwa anak ingin terlibat dalam aktivitas tersebut.
Pelatihan empati melibatkan membantu pelaku mengambil sudut pandang korban dan memahami kerugian yang mereka timbulkan. Pendekatan pengkondisian positif berpusat pada pelatihan keterampilan sosial dan perilaku alternatif yang lebih tepat. Rekondisi, misalnya, melibatkan pemberian umpan balik segera kepada pasien, yang dapat membantunya mengubah perilakunya.
Prognosis untuk mengurangi hasrat pedofil sulit ditentukan karena fantasi seksual yang sudah berlangsung lama tentang anak-anak sulit diubah. Praktisi dapat membantu mengurangi intensitas fantasi dan membantu pasien mengembangkan strategi penanggulangan. Psikoterapi dinamis, teknik perilaku, dan pendekatan farmasi semuanya menawarkan bantuan, namun pemeliharaan seumur hidup mungkin merupakan pendekatan yang paling pragmatis dan realistis.