Kamis 28 Dec 2023 01:30 WIB

Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok Dinilai Picu Masyarakat Makan Tabungan

Insentif pajak juga perlu difokuskan kepada usaha yang padat karya.

Ilustrasi layanan perbankan.
Foto: BTN
Ilustrasi layanan perbankan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, meningkatnya harga kebutuhan pokok di pasaran yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah tabungan masyarakat menyebabkan terjadinya fenomena “makan tabungan”. Fenomena “makan tabungan” yang saat ini ramai diperbincangkan merupakan suatu keadaan di mana masyarakat berbelanja melebihi pendapatan yang diterimanya, sehingga terpaksa menggunakan tabungannya.

“Ada korelasi antara kenaikan harga beras, cabai, dan gula terhadap jumlah tabungan yang pertumbuhannya rendah. Sementara itu dari sisi pendapatan, masyarakat terhambat oleh sulitnya mencari pekerjaan yang layak. Jadi kenaikan kebutuhan pokok dengan kenaikan pendapatan bulanan kelas menengah tidak berbanding lurus,” kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu (27/12/2023).

Baca Juga

Selain itu, Bhima menilai Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 11 persen dan wacana kenaikannya 12 persen perlu dikalibrasi ulang agar tak turut memberatkan daya beli masyarakat. Dari segi insentif pajak juga perlu difokuskan kepada usaha yang padat karya dibandingkan yang padat modal.

"Formulasi UMP (Upah Minimum Provinsi)-nya perlu dirombak ulang karena pertumbuhan UMP yang ada saat ini tidak mampu memperbaiki pendapatan masyarakat. Belum terlambat untuk mencegah pelemahan konsumsi rumah tangga,” ujarnya pula.

Berdasarkan survei konsumen oleh Bank Indonesia (BI), rata-rata proporsi pendapatan konsumen yang disimpan (saving to income ratio) mengalami penurunan dari 15,7 persen pada Oktober 2023 menjadi 15,4 persen pada November 2023.

Kemudian, proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) juga turut mengalami penurunan dari 75,6 persen pada Oktober 2023 menjadi 75,3 persen pada November 2023.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan proporsi pembayaran cicilan atau utang (debt to income ratio) yang mengalami peningkatan menjadi 9,3 persen pada November 2023, dibandingkan bulan Oktober 2023 sebesar 8,8 persen.

Lebih lanjut, Bhima memproyeksikan bahwa pada 2024 mendatang, tingkat tabungan masyarakat akan tetap bertumbuh meskipun tetap mengalami perlambatan.

"Proyeksinya 2024 simpanan masyarakat akan tumbuh lebih lambat. Pada awal tahun mungkin terbantu sedikit oleh money politics ya jelang pemilu, atau serangan fajar tapi sifatnya temporer," katanya lagi.

Adapun dari sisi dana pihak ketiga (DPK) perbankan, terjadi perlambatan pertumbuhan DPK pada November 2023 yang tercatat sebesar 3,04 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Kendati demikian, Deputi Gubernur BI Juda Agung menilai pertumbuhan DPK yang masih di rentang 3 persen itu tak perlu dikhawatirkan.

"Saya rasa pertumbuhan DPK 3 persen di tahun ini tidak perlu kita khawatirkan, karena kalau di average 4 tahun terakhir kira-kira pertumbuhannya normal sekitar 8 persen. Tahun depan kami perkirakan DPK juga tumbuh, dan pertumbuhan kredit kami perkirakan akan lebih tinggi dari tahun ini 10 sampai 12 persen," ujar Juda.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement