REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) mengecam naiknya produksi uranium yang diperkaya Iran hingga kemurnian 60 persen. Mendekati tingkat yang dapat digunakan untuk memproduksi senjata nuklir.
Dalam pernyataan bersamanya, negara sekutu tidak menyebutkan konsekuensi yang dihadapi Iran dalam peningkatan tersebut. Tapi, mendesak Iran menurunkan kemurnian uraniumnya dan mengatakan mereka masih berkomitmen pada solusi diplomasi atas program nuklir Iran.
"Produksi uranium dengan tingkat kemurnian tinggi yang dilakukan Iran tidak memiliki pembenaran sipil yang kredibel, keputusan ini mewakili perilaku ceroboh dalam konteks ketegangan regional," kata empat negara itu dalam pernyataannya, Jumat (29/12/2023).
Sejak Israel menginvasi Gaza, proksi-proksi yang didukung Iran menyerang kapal komersial yang berlayar melalui Laut Merah dan pasukan AS di Irak dan Suriah. Serangan-serangan ini meningkatkan ketegangan di kawasan.
Dalam laporannya, Selasa (27/12/2023), badan pemantau nuklir PBB (IAEA) mengatakan Iran kembali menaikkan produksi uranium yang diperkaya hingga 60 persen. Setelah sempat memperlambatnya selama beberapa bulan.
"Kami mengecam aksi yang menambah eskalasi program nuklir Iran yang tidak kunjung mereda," kata Prancis, Jerman, Inggris dan AS dalam pernyataan bersama tersebut.
Iran membantah laporan IAEA sebagai "tidak ada yang baru" dan mengatakan mereka menjalankan program nuklirnya sesuai dengan peraturan. Tingkat kemurniaan uranium Iran yang mencapai 60 persen membuat negara Barat khawatir. Karena bila diperkaya hingga 90 persen maka Iran dapat memiliki senjata nuklir.
Iran menyangkal mereka memiliki senjata nuklir. Inggris, Prancis dan Jerman masih menjadi anggota kesepakatan 2015 yang dirancang untuk mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir atau Joint Comprehensive Plan of Action. Pada 2018, mantan presiden AS Donald Trump mengeluarkan AS dari perjanjian tersebut. Keputusan ini mendorong Iran melanggar kesepakatan secara bertahap.