REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rezeki merupakan anugerah yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya. Rezeki tersebut diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan setiap hamba dan agar dipergunakan di jalan yang telah Allah ridhoi.
Kata rezeki sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu ar-Rizqu yang berasal dari akar kata razaqa-yarzuqu-razqan wa rizqan. Secara bahasa razaqa artinya memberi dan ar-rizqu artinya pemberian.
Menurut Ibnu Abdis Salam dalam tafsirnya, asal dari ar-rizqu adalah al-hazhzhu (bagian atau porsi). Karena itu, apa saja yang dibagikan sebagai bagian atau porsi seseorang dari pemberian Allah adalah rizqan. Selain itu, ar-rizqu juga diartikan apa saja yang bisa dimanfaatkan, dengan kata lain, rizki juga dapat berarti apa-apa saja pemberian Allah kepada seorang hambaNya yang dapat dimanfaatkan disebut dengan rezeki.
Dikutip dari buku Istri-Istri Pembawa Rezeki karya Aulia Fadhli, rezeki yang selalu kita pikirkan identik dengan harta, baik barang atau jasa yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tetapi ternyata, rezeki itu tidak selalu soal harta, ada juga rezeki berupa kesehatan, tubuh yang sempurna, udara yang segar, kemerdekaan, keamanan, ketentraman, akal pikiran, keimanan dan keislaman bahkan termasuk di dalamnya itu keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, dan semua itu adalah rezeki yang patut disyukuri.
Pada dasarnya, muara dari hampir setiap usaha yang dilakukan oleh manusia adalah mencari rezeki. Pendidikan, kedudukan, dan pekerjaan kerap dimaknai sebagai wasilah menuju rezeki, sayangnya makna rezeki pada sebagian orang telah mengalami penyempitan. Bahkan menurut Rasulullah: "Dua nikmat (rezeki) yang sering dilupakan kebanyakan orang adalah kesehatan dan kesempatan" (HR Bukhari).
Makna rezeki menurut para ulama
Menurut Ibnu Al-Munzur dalam kamus Lisan al-Arab, rezeki atau Ar-Rizqu dibagi menjadi dua bentuk utama, yaitu rezeki lahir yang nampak terlihat seperti air dan makanan, dan rezeki yang bersifat batin untuk hati dan jiwa seperti ilmu pengetahuan dan wawasan.
Menurut Syeikh Nawawi bin Umar Al-Jawi, rezeki tidak hanya terbatas pada makanan dan minuman. Dalam kitabnya Qatru al-Ghais fi Syarh Masail Abi Laits, beliau menyebutkan, “Rezeki tidak terbatas pada makanan dan minuman, akan tetapi segala sesuatu yang bermanfaat bagi hayawan (makhluk bernyawa) termasuk makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Rezeki yang paling utama adalah at-taufiq (pertolongan Allah) kepada ketaatan.”
Menurut Syeikh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, rezeki ialah apa yang dapat dimanfaatkan manusia, apakah halal atau haram, baik atau buruk. Menurutnya, semua yang tidak dimanfaatkan, meskipun Anda memilikinya, ia bukan rezeki Anda, akan tetapi rezeki orang lain.
Masih menurut Syeikh Muhammad Mutawalli, rezeki harta adalah rezeki yang paling rendah, sedangkan kesehatan adalah rezeki yang paling tinggi, anak yang saleh adalah rezeki yang paling utama, dan ridha Allah adalah rezeki yang sempurna.
Kemudian menurut Quraish shihab, apapun yang didapatkan dan diperoleh seseorang dan dia dapat memanfaatkan baik itu material atau non material (spiritual), adalah sebagai rezeki.