BAGHDAD – Pemerintah Irak menginginkan membahas dengan cepat keluarnya pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS). Perdana Menteri Irak Muhammad Shia al-Sudani menganggap kehadiran pasukan itu mengganggu stabilitas di tengah meluasnya dampak perang di Gaza.
Desakan yang sudah lama didengungkan sebagian besar faksi Syiah di Irak, yang memiliki kedekatan dengan Iran agar pasukan koalisi hengkang, memperoleh dukungan lebih kuat setelah terjadi serangkaian serangan AS ke kelompok berafiliasi dengan Iran.
Di sisi lain, mereka juga bagian resmi pasukan Irak. Serangan tersebut merupakan respons atas puluhan serangan drone dan rudal yang menyasar pasukan AS sejak Israel melakukan aksi militer terhadap Gaza.
Ini dikhawatirkan membuat Irak kembali jadi ajang konflik kawasan. ‘’Ada keperluan mengorganisasi kembali hubungan ini sehingga Irak tak jadi target atau pembenaran pihak mana pun, sehingga mengganggu stabilitas Irak ataupun kawasan,’’ kata Sudani, Selasa (9/1/2024).
Memberikan detail mengenai pemikirannya terkait masa depan pasukan koalisi sejak pengumuman 5 Januari lalu, Irak bakal memproses penutupan markas pasukan koalisi. Sudani menyatakan, keluarnya pasukan koalisi ditempuh melalui dialog.
‘’Mari kita sepakat pada kerangka waktu keluarnya pasukan koalisi dengan jujur dan cepat. Sehingga, mereka tak terus berada di Irak dalam waktu lama dan serangan terus terjadi,’’ katanya. Eskalasi kawasan hanya bisa dihentikan jika serangan Israel ke Gaza disudahi.
‘’Berakhirnya perang di Gaza merupakan satu-satunya jalan keluar. Jika tidak, kita akan melihat meluasnya arena konflik di kawasan yang sensitif bagi dunia karena mereka merupakan pemasok energi dunia,’’ ujar Sudani.
Hengkangnya pasukan AS membutuhkan...
Hengkangnya pasukan AS membutuhkan pertimbangan matang Washington karena dampaknya, akan semakin meningkatnya pengaruh Iran di tingkat elite pemerintahan Irak. Kelompok Syiah dukungan Iran terus menguat setelah invasi koalisi AS ke Irak pada 2003.
Pada Senin (8/1/2024) lalu, Pentagon atau Kementerian Pertahanan AS menyatakan tak memiliki rencana untuk menarik pasukannya dari Irak. Sebab, kedatangan mereka ke sana karena undangan dari Pemerintah Irak sendiri.
Irak, produsen minyak terbesar kedua yang menjadi anggota OPEC, telah lama menjadi pengkritik tajam aksi militer Israel di Gaza. Mereka menyatakan Israel melakukan genosida dengan melakukan pembunuhan massal terhadap warga Palestina.
Di sisi lain, Pemerintah Irak berkali-kali menyatakan serangan oleh kelompok bersenjata terhadap pasukan asing dan misi diplomatik di Irak merupakan tindakan ilegal. Serangan semacam itu bertentangan dengan kepentingan nasional Irak.
Pemerintah Irak mengaku telah menahan sejumlah pelaku dan mencegah beberapa serangan. Pada saat bersamaan, Irak mengecam serangan AS ke basis-basis kelompok bersenjata. Termasuk serangan baru-baru ini ke komandan kelompok milisi di Baghdad. Dalam konteks ini, Irak menganggap serangan tersebut melanggar kedaulatan wilayahnya.
Sejumlah kritik terlontar, kelompok bersenjata seperti Kataeb Hezbollah dan Haraket Hezbollah al-Nujaba memanfaatkan statusnya sebagai anggota pasukan keamanan negara, Popular Mobilization Forces (PMF) sebagai kamuflase.
Ketika menyerang pasukan AS, mereka menjalankan operasinya di luar rantai komando PMF, tetapi di bawah payung Islamic Resistance in Iraq. Saat pasukan AS membalas mereka menyatakan diri sebagai anggota PMF dengan tujuan meningkatkan sentimen anti-AS.
Pasukan koalisi pimpinan AS menginvasi Irak dan menjatuhkan Presiden Saddam Hussein pada 2003. Mereka ditarik pada 2011, tetapi kemudian kembali lagi pada 2014 untuk memerangi ISIS sebagai bagian dari koalisi pasukan internasional. Saat ini terdapat 2.500 tentara AS di Irak.
Berhasil dikalahkannya ISIS pada 2017, jelas Sudani, alasan keberadaan pasukan koalisi itu telah berakhir pula. (reuters/han)