REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mikroplastik menjadi salah satu ancaman lingkungan yang nyata bagi Indonesia. Menurut Lead Researcher for Plastics Campaign di Greenpeace Indonesia, Afifah Rahmi Andini, kondisi cemaran mikroplastik di Indonesia sudah berada di titik yang genting.
Berdasarkan beberapa studi, kata Afifah, mikroplastik sudah ditemukan di berbagai badan lingkungan seperti udara, perairan baik tawar maupun laut, serta tanah atau sedimen. Karena lingkungan sudah tercemar, perpindahan mikroplastik ke spesies yang hidup di dalamnya juga tidak bisa dihindari, contohnya pada ikan di perairan Jakarta, kepiting bakau di perairan Semarang, telur ayam di Jawa Timur dan lainnya.
“Kondisi ini juga pada akhirnya bisa berdampak pada manusia yang mengonsumsi makanan dan produk-produk tersebut. Misal, studi Ecoton menunjukkan bahwa mikroplastik sudah ditemukan pada seluruh sampel feses yang diteliti di Jawa dan Bali,” kata Afifah saat dihubungi Republika, Kamis (11/1/2024).
Tidak hanya itu, berdasarkan pada studi di beberapa negara lain, mikroplastik juga telah ditemukan pada darah, urin, paru-paru, ASI, plasenta, hingga jantung manusia. Temuan ini, tegas Afifah, juga perlu menjadi alarm bagi Indonesia. Dengan kondisi lingkungan Indonesia yang sudah tercemar mikroplastik, tidak menutup kemungkinan berbagai organ tubuh masyarakat pun berpotensi terkontaminasi.
Untuk menangani problematika ini, dikatakan Afifah, setidaknya perlu ada dua intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah yakni mitigasi dan adaptasi. Dalam aspek mitigasi pencemaran mikroplastik, pelarangan penggunaan material plastik yang dapat menjadi sumber cemaran (baik primer maupun sekunder) menjadi garda mitigasi pertama.
Indonesia melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 75 Tahun 2019, memang telah melarang beberapa material plastik sekali pakai, termasuk sachet di bawah 200 gram, AMDK di bawah 500 mililiter styrofoam, sedotan dan kantong plastik. Namun, menurut Afifah, cakupan pelarangan ini masih parsial, di mana masih banyak jenis plastik sekali pakai yang belum terinventarisir dalam aturan tersebut. Seperti microbeads dalam produk kosmetik dan perawatan tubuh, yang jelas-jelas dapat menjadi sumber cemaran mikroplastik primer ke lingkungan.
“Lalu, mau tidak mau kita harus beradaptasi, karena fakta mikroplastik sudah ada di lingkungan dan tubuh kita tidak bisa dihindari. Dalam aspek ini, pembuatan standar pengujian dan ambang batas cemaran mikroplastik di lingkungan maupun produk pangan menjadi garda pertama untuk meminimalisir resiko mikroplastik masuk ke tubuh kita. Sayangnya, sampai sejauh ini Indonesia belum memasukan parameter mikroplastik ke dalam standar baku mutu pangan dan lingkungan kita,” tegas Afifah.
Lantas industri apa saja yang paling berkontribusi terhadap cemaran mikroplastik di Indonesia? Menurut laporan Greenpeace dalam A Crisis of Convenience, plastik umumnya digunakan pada sektor industri petrokimia, kemasan, tekstil, kelistrikan, transportasi, bangunan dan konstruksi, agrikultur, dan lain-lain. Dan menurut Afifah, seluruh industri tersebut, sedikit banyaknya, tentu memiliki kontribusi terhadap pencemaran plastik atau mikroplastik di Indonesia.
"Namun, masih berdasarkan data yang sama, 40 persen produksi plastik global ini digunakan untuk industri kemasan sekali pakai (FMCG), yang mana menjadi market plastik terbesar. Artinya, produk industri kemasan sekali pakai ini punya kontribusi signifikan dalam pencemaran plastik atau mikroplastik, baik secara global ataupun di Indonesia," ungkap Afifah.