REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) menyoroti keputusan pemerintah terkait UU No. 1 Tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Meski aturan tersebut membatasi tarif pajak untuk makanan dan minuman, jasa perhotelan, dan jasa kesenian hingga 10 persen, namun kenaikan pajak hiburan khususnya pada sektor diskotik, karaoke, club malam, bar, mandi uap/spa naik signifikan dari paling rendah 40 persen dan maksimal 75 persen dinilai dapat mengancam eksistensi pelaku industri hiburan, terutama di tengah fase pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Bendahara Umum Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI) Gde Bayu Pangestu AW mencemaskan ini akan mematikan jasa industri hiburan di tengah Indonesia yang sedang menggenjot pendapatan pariwisata di tahun 2024 pascapandemi.
“Kenaikan pajak hiburan di tengah pemulihan ekonomi pasca pandemi, hal ini dapat memberikan tekanan berlebihan pada pelaku usaha yang masih berjuang untuk bangkit. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kenaikan pajak akan membebani wisatawan, mengingat pelaku usaha mungkin kesulitan membayar biaya operasional dan akan berdampak terhadap penutupan usaha,” kata Bayu, Rabu (17/1/2024).
Bayu menerangkan bahwa, dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, tarif pajak hiburan di Indonesia akan menjadi yang tertinggi, yakni 40-75 persen. Thailand hanya mengenakan 5 persen, Malaysia 6 persen, Singapura 9 persen, dan Filipina 18 persen. Selain itu, perbedaan kebijakan visa antara Indonesia dan negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand yang menerapkan bebas visa, menambah kompleksitas situasi.
“Berdasarkan kenaikan tarif pajak, Indonesia pasti akan tertinggi di ASEAN. Hal ini akan berdampak domino terhadap wisatawan asing yang akan datang ke Indonesia, mereka akan mengurungkan liburannya ke Indonesia. Selain itu, investor yang akan berinvestasi ke Indonesia juga akan berpikir ulang untuk membuka potensi hiburan di Indonesia dengan tarif pajak yang begitu tinggi,” kata dia.
Bayu mengatakan bahwa transparansi penerimaan pajak hiburan yang dinilai masih kurang jelas. Selain itu, dengan target pendapatan pariwisata pada tahun 2024 sebesar 200 triliun, akan ada sentiment negatif terhadap kenaikan pajak hiburan pada sektor pariwisata jika tidak segera ditangani dengan bijak.
“Transparansi penerimaan pajak hiburan saat ini tidak jelas seperti apa. Ketidakjelasan ini menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas dan keadilan dalam pemungutan pajak. Hal ini akan menimbulkan sentimen negatif terhadap pendapatan pariwisata yang ditargetkan 200 triliun di tahun 2024. Hal ini perlu ditangani dengan cepat dan bijak,” ujar Bayu.
Menyikapi permasalahan ini, Bayu mengusulkan evaluasi ulang terhadap realisasi penerimaan pajak, melibatkan pengusaha dan stakeholder terkait. Memberikan kebijakan bebas visa kepada negara-negara penyumbang wisatawan asing juga dianggap sebagai langkah strategis untuk mendongkrak sektor pariwisata.
“Pemerintah perlu evaluasi ulang terhadap penerimaan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang dimana harus melibatkan pelaku usaha dan stakeholder terkait untuk mendapatkan kesepakatan Bersama. Selain itu juga, pemerintah perlu menerbitkan Kembali bebas visa terhadap negara-negara penyumbang wisatawan ke Indonesia seperti China, Amerika, India, Jepang, dan Australia agar dapat mendongkrak sektor pariwisata asing,” kata dia.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan menyatakan tak semua tarif pajak barang jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan atau pajak hiburan naik menjadi 40 persen hingga 75 persen.
“Ada 12 jenis pajak hiburan yang diatur. Poin 1-11 yang semula 35 persen, diturunkan pemerintah menjadi paling tinggi 10 persen. Kalau poin 12, pajaknya batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Jadi, jangan digeneralisasi,” kata Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lydia Kurniawati Christyana, demikian dilansir dari Antara.