Kamis 18 Jan 2024 17:20 WIB

Eks Wakil Ketua KPK Imbau KPU Perbaiki Regulasi Penyelenggaraan Pemilu 2024

Pemilu 2024 harus berjalan lancar.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Pemilu. (ilustrasi)
Foto: Republika/mgrol100
Pemilu. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif mengkritisi sejumlah rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Bahkan Syarif mengusulkan sejumlah PKPU itu dibatalkan karena tidak sah. 

Syarif menyebut Pemilu yang demokratis sudah semestinya menerapkan prinsip keterbukaan. Karena itu, keterlibatan publik dalam memantau prosesnya harus dibuka lebar. Namun menurutnya kali ini  KPU mengabaikan semangat keterbukaan.

Baca Juga

Hal itu, lanjut Syarif, terjadi dalam uji publik rancangan PKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum,  Rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, dan Rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil  Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024.

"Dalam rancangan PKPU tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, peran saksi dari nonpartai tak diakui secara tegas kedudukannya dalam proses rekapitulasi berjenjang dari kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi. Sebabnya, mereka tak diberikan otoritas yang sah," kata Syarif kepada Republika, Rabu (17/1/2024).

Direktur Eksekutif KEMITRAAN itu mengatakan hal tersebut sama saja mengurangi peran check and balances dari elemen masyarakat sipil dalam proses rekapitulasi karena hanya saksi dari partai yang diakui.

"Semestinya saksi dari nonpartai juga diberikan otoritas yang sama seperti saksi dari partai. Sehingga mekanisme check and balances bisa berjalan optimal," ujar Syarif.

Kemudian, KPU menggunakan formulir C1 yang diunggah ke situs Sistem Informasi  Rekapitulasi Suara (Sirekap) sebagai pembanding proses rekapitulasi manual berjenjang. Namun KPU belum menjelaskan mekanisme yang menjamin formulir C1 yang belum terunggah ke Sirekap karena ketiadaan internet tidak disalahgunakan. 

Hal ini menurut Laode berpotensi menjadi  celah terjadinya kecurangan. Ditambah pula, Rancangan PKPU ini belum menyertakan hak publik secara spesifik untuk mengakses Sirekap guna memantau formulir C1 yang telah diunggah.

"Ini menjadi penting untuk diperbaiki karena keterlibatan publik dalam proses rekapitulasi suara sangat penting untuk meminimalisasi kecurangan,” ucap Syarif.

Kedua, dalam rancangan PKPU tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, tak diatur sanksi bagi pasangan capres dan cawapres yang tak menyertakan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Namun di sisi lain, partai politik yang tidak menyerahkan LPPDK dikenakan sanksi dengan tak dihitung perolehan suara mereka di Pemilu legislatif. Akibatnya, suara calon anggota legislatif dari partai tersebut dianggap hangus dan partai tersebut tak mendapatkan kursi di DPR dan DPRD Provinsi serta Kabupaten/Kota.

"Pertanyannya, mengapa kandidat calon presiden dan wakil presiden tidak dikenakan sanksi bila tak menyerahkan LPPDK. Padahal keterbukaan dana kampanye penting sebagai filter awal untuk menghindari terjadinya politik uang," ujar Syarif.

Ketiga, di rancangan PKPU tentang Tahapan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024, KPU diperbolehkan mengubah PKPU hingga 18 November 2024. Padahal hari pemungutan suara dilangsungkan pada 27 November, yakni hanya berjeda 9 hari. 

"Hal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi partai politik, kandidat kepala daerah, dan pemilih," ujar Syarif. 

Oleh karena itu, Syarif menilai ketiga rancangan PKPU ini disusun dan diujikan ke publik secara terburu-buru. KPU baru membagikan dokumen rancangan PKPU setebal 80 halaman pada dua hari sebelum dibahas bersama dengan partai dan elemen masyarakat sipil. 

"Yang lebih mengkhawatirkan, ketiga rancangan PKPU ini disusun setelah melewati batas waktu pembuatan regulasi untuk Pemilu 2024," ujar Syarif. 

Oleh karena itu, Syarif memandang rancangan peraturan dan konsultasi ketiga PKPU ini bisa dinyatakan tidak sah dan bermasalah secara hukum.

"Untuk itu, sebaiknya KPU tak melanjutkan penyusunan ketiga rancangan PKPU tersebut lantaran berpotensi melanggar ketentuan hukum yang telah mereka tetapkan," ujar Syarif.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024, yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar nomor urut 1, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka nomor urut 2, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md nomor urut 3.

KPU juga telah menetapkan masa kampanye mulai 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, kemudian jadwal pemungutan suara pada tanggal 14 Februari 2024.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement