Jumat 19 Jan 2024 09:52 WIB

Yusril Kritisi Putusan MK Soal Ketentuan Tap MPR

Tujuan pengujian agar MPR berwenang membuat Tap demi menyelamatkan negara.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Teguh Firmansyah
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra
Foto: Republika/Prayogi
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkara Nomor 66/PUU-XXI/2023 atas pengujian materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Permohonan ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang (PBB). 

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU P3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sebab keberadaan Ketetapan (Tap) MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah menjadi penyelamat negara ketika mengalami krisis konstitusional. 

 

Ketua Umum PBB, Yusril Ihza Mahendra, menjelaskan tujuan pengujian agar MPR berwenang membuat Tap demi menyelamatkan negara. Ini berlaku jika terjadi keadaan yang luar biasa seperti bencana alam, wabah penyakit/pandemi, perang dan kerusuhan sehingga pemilu tidak dapat dilaksanakan. 

 

"Akibatnya, semua jabatan yang dipilih dengan pemilu akan kedaluwarsa dan kekuasaan negara kemungkinan besar berada dalam keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan. Dalam situasi seperti itu, PBB mempertanyakan lembaga apa yang berwenang menunda pemilu yang merupakan amanat UUD NRI 1945," kata Yusril dalam keterangannya pada Jumat (19/1/2024). 

 

Yusril berpendapat MPR-lah yang berwenang membuat dan mengubah UUD 45 demi mencegah negara berada dalam keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan. Ini termasuk kewenangan memperpanjang masa jabatan Presiden, DPR dan DPD. 

 

"Persoalan pokok yang diajukan PBB itu justru tidak dijawab MK dalam putusannya. MK hanya fokus pada hierarki peraturan perundang-undangan dan perubahan status MPR yang bukan lagi lembaga tertinggi negara. MK sama sekali tidak menyinggung hukum tatanegara dalam keadaan darurat yang mungkin saja terjadi," ujar Yusril. 

 

Yusril menegaskan usaha PBB menunjukkan ada partai politik yang peduli dengan situasi darurat yang mungkin saja dapat terjadi di Indonesia. Ia beranggapan bangsa ini perlu landasan hukum untuk mengatasinya. 

 

"Tetapi kalau MK saja menganggap hal itu tidak penting untuk dijawab, maka PBB hanya mengatakan tanggung jawab sejarah partainya sudah mereka tunaikan. Marilah kita melangkah ke depan, semoga situasi darurat itu tidak terjadi pada bangsa dan negara kita," ujar Yusril.

 

Diketahui, putusan MK itu adalah final dan mengikat. Sehingga terjawab sudah perdebatan akademis selama ini apakah MPR masih berwenang membuat Tap atau tidak. 

 

MK berpendapat amandemen UUD RI 1945 telah mengubah struktur ketatanegaraan. Sehingga MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Konsekuensinya MPR tak berwenang lagi menerbitkan Tap yang kedudukannya berada di bawah UUD 1945, tetapi di atas undang-undang.

Di sisi lain, Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Ketua MK Suhartoyo menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keduanya berpendapat, menghapus Penjelasan dimaksud tetap saja tidak akan menghilangkan ihwal persoalan hukum masuknya Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Baca Juga

“Karena itu, kami menghendaki menyatakan inkonstitusional Tap MPR dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 12/2011 dimaksud,” kata Saldi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya