REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasihat guru sangat diutamakan dalam kehidupan generasi salaf terdahulu. Termasuk dalam hal memilihkan bidang ilmu yang harus digeluti oleh seorang murid.
Imam Al Zarnuji, dalam Ta'lim Al Muta'allim (terjemahan Abdul Kadir Aljufri, diterbitkan Mutiara Ilmu) menyampaikan seorang murid tidak patut memilih bidang ilmu sendiri. Dia harus menyerahkan urusan tersebut kepada sang guru. Sebab guru lebih mengetahui mana ilmu yang sesuai dengan watak dan kecenderungan muridnya.
Imam Al Zarnuji menukil perkataan Syekh Burhan Al Haqqi, sebagai berikut:
كَانَ طَلَبَةُ العِلمِ فِى الزَّمَانِ الأَوَّل يُفَوِّضُونَ أُمُورَهُم فِى التَّعَلُّمِ إِلَى اُستَاذِهِم، وَكَانُوا يَصِلُونَ إِلَى مَقصُودِهِم وَمُرَادِهِم، وَالآن يختَارُون بِأَنفُسِهِم، فَلاَ يَحصُلُ مَقْصُودَهُم مِنَ العِلمِ وَالفِقْهِ.
"Pada zaman dahulu, para murid menyerahkan sepenuhnya urusan belajar mereka kepada guru, agar berhasil meraih cita-citanya. Namun, berbeda dengan masa sekarang, para murid selalu menentukan pilihannya sendiri sehingga mereka pun gagal meraih ilmu yang dicita-citakan."
Muhammad bin Ismail Al Bukhari (Imam Bukhari), dahulu berguru kepada Muhammad bin Al Hasan. Al Bukhari memulai belajar kepada gurunya itu dari bab sholat. Hingga kemudian, gurunya berkata, "Pergilah dan belajarlah ilmu hadits."
Sang guru, Muhammad bin Al Hasan, berkata demikian karena mengetahui watak dan kecenderungan muridnya itu. Lalu, Imam Bukhari menimba ilmu hadits sehingga dia pun menjadi pelopor seluruh imam ahli hadits.
Seorang murid juga hendaknya mendengarkan...