Sabtu 20 Jan 2024 11:50 WIB

Muhammadiyah Sebut Merger Muamalat-BTN Sebaiknya tak Dilanjut, Ini Alasannya

Bank Muamalat dinilai tidak boleh jadi milik pemerintah.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Karyawan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mengakses fitur Hijrah Lounge di aplikasi mobile banking Muamalat DIN melalui smartphone di Jakarta, Kamis (18/1/2024). Fitur baru ini berisi konten-konten Islami seperti jadwal salat, arah kiblat, kalkulator zakat, hadis harian serta fitur Hijrah Tour yang dapat digunakan untuk melakukan pembelian paket umrah. Saat ini Muamalat DIN sudah diunduh lebih dari 500 ribu kali dengan lebih dari 480 ribu pengguna aktif. Terdapat 196 fitur di Muamalat DIN, bertambah hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 81 fitur.
Foto: Dok Republika
Karyawan PT Bank Muamalat Indonesia Tbk mengakses fitur Hijrah Lounge di aplikasi mobile banking Muamalat DIN melalui smartphone di Jakarta, Kamis (18/1/2024). Fitur baru ini berisi konten-konten Islami seperti jadwal salat, arah kiblat, kalkulator zakat, hadis harian serta fitur Hijrah Tour yang dapat digunakan untuk melakukan pembelian paket umrah. Saat ini Muamalat DIN sudah diunduh lebih dari 500 ribu kali dengan lebih dari 480 ribu pengguna aktif. Terdapat 196 fitur di Muamalat DIN, bertambah hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2022 yang sebanyak 81 fitur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua PP Muhammadiyah sekaligus Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menanggapi soal penggabungan atau merger Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan BTN Syariah. Menurutnya, rencana tersebut sebaiknya tidak dilanjutkan.

Itu karena, kata dia, BMI bukan milik pemerintah. Meski Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) telah menjadi pemegang saham dominan bank syariah tersebut. Seperti diketahui, saat BMI menghadapi masalah, pemerintah mendorong BPKH masuk melakukan investasi ke BMI guna penyelamatan.

Baca Juga

"Tapi hal itu bukanlah berarti BMI sudah menjadi bank milik pemerintah, karena dana BPKH yang diinvestasikan di BMI tersebut bukanlah dana dari pemerintah tapi adalah dana milik umat," jelas Anwar dalam keterangan resmi yang dikutip Sabtu, (20/1/2024).

Maka, kata dia, ke depannya BMI harus dijaga supaya tetap dengan paradigmanya dari umat, milik umat, bersama umat, dan untuk umat. Ia menyebutkan, ada beberapa pertimbangan mengapa rencana merger dua entitas di atas sebaiknya tidak dilanjutkan.

"Pertama, agar legacy dari bapak-bapak kita terdahulu yang telah bersusah payah mendirikan bank ini (BMI) tetap terjaga untuk menjadi spirit dan pelajaran bagi generasi sekarang. Lalu yang akan datang untuk juga bisa berbuat sesuatu yang berarti dan bermakna bagi umat dan bangsa," tuturnya.

Kedua, lanjut dia, MUI pun ingin di tengah persaingan dunia perbankan di negeri yang mayoritas umatnya beragama islam ini, tetap ada bank swasta yang merupakan milik umat. Maka dalam menangani masalah BMI ini, ke depannya diharapkan pendekatan yang digunakan tidak hanya menggunakan hitung-hitungan ekonomi dan bisnis saja, melainkan turut memperhatikan dan mempertahankan sejarah.

"Maksud dan tujuan dari kita mendirikan bank ini yaitu kita ingin umat islam punya bank yang berdasarkan prinsip syariah. Diharapkan akan dapat membantu ekonomi umat terutama usaha-usaha yang berada di kelompok UMKM terutama usaha kecil, mikro dan ultra mikro yang jumlahnya 99 persen dari seluruh pelaku usaha di negeri ini yang oleh sistem perbankan yang ada secara sistemik telah termarginalkan," jelas Anwar.

Ia bersyukur bank milik umat atau BMI sudah terwujud meski belum sesuai yang diinginkan. Meski begitu, tuturnya, bukan berarti harus digabung dengan bank BTN Syariah atau bank lain.

"Tugas kita sekarang bukan lagi memikirkan bagaimana me-merger-kannya dengan BTN Syariah atau bank lain, tapi bagaimana kita bisa secara bersama-sama memajukan dan membesarkannya," tegas dia.

Ia pun menambahkan, perlu langkah yang harus ditempuh guna mencapai tujuan tersebut.

Di antaranya menggerakkan berbagai elemen umat agar secara bersama-sama terlibat memajukan dan membesarkan BMI. Ia menyebutkan, di Indonesia terdapat banyak organisasi massa (ormas) Islam. Negeri ini pun mempunyai banyak masjid, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit serta usaha-usaha bisnis milik umat yang bisa digerakkan untuk itu.

"Hal ini tentu akan mudah dilakukan karena dengan masuknya dana BPKH ke BMI meski baru sekitar satu persen dari total dana haji yang dikelolanya. Kita melihat kepercayaan umat terhadap BMI sekarang tampak semakin kuat dan meningkat," kata Anwar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement