REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti mengkritisi, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2023, yang tidak mewajibkan menteri, anggota legislatif, hingga kepala daerah mundur dari jabatan jika maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres). PP tersebut diteken Jokowi pada medionNovember 2023
Ray menilai, PP tersebut makin mengancam demokrasi dan membuka ruang-ruang pelanggaran Pemilu 2024. "Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat menjelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi," ujar Ray kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (20/1/2024).
Dia menjelaskan, indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun. Sementara disisi lain aksi nepotisme meroket. "Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau setback?" ucap Ray.
Dia pun menegaskan semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu, meski belum tentu akan ditindaklanjuti. "Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan, tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu," kata Ray.
Menurut Ray, bentuk pelanggaran pemilu begitu banyak. Mulai perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk hambatan yang dialami kandidat lain perlu diproses.
"Kok, Pak Jokowi ini seperti meruntuhkan banyak hal yang berhubungan dengan demokrasi. Dia mempromosikan dinasti politik yang meruntuhkan gerakan antinepotisme, membuat KPK lumpuh, sekarang pemilu menuju ke arah yang terburuk sepanjang reformasi," ujar Ray.