REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidikan seksual pada anak dinilai bukan sebagai hal yang tabu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan pengenalan seksualitas pada anak bukan sekadar hubungan pria dan wanita, melainkan juga mengenalkan organ reproduksi.
Dia menyebut, ada 12 hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi yang dilindungi oleh peraturan internasional. "Banyak orang yang berencana hamil, tetapi tidak tahu seperti apa proses kehamilan terjadi. Bagaimana ia bisa melindungi hak-haknya? Hak untuk hidup mestinya dimiliki, bahkan sejak embrio," kata Hasto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (21/1/2024).
Hal tersebut disampaikan Hasto saat menjadi narasumber dalam Kelas Pranikah Seri Tiga yang dilaksanakan secara daring pada Jumat (19/1/2024) yang menyasar para pasangan calon pengantin dan pasangan keluarga muda yang belum hamil. Menurutnya, masyarakat sering kali keliru pengertian pendidikan reproduksi dan seksualitas bagi calon pengantin hanya tentang cara berhubungan seksual.
"Penting dipahami bersama bahwa pendidikan seksualitas bukan cara berhubungan seks semata, melainkan dalam arti positif yaitu membekali pengetahuan kesehatan reproduksi untuk mencegah agar masalah seksualitas tidak terjadi," ujarnya.
Berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2019, tercatat dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, ada 770 kasus merupakan hubungan inses (sedarah), 571 kekerasan seksual, 536 kekerasan fisik, 319 kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi sebanyak 145 kasus. Untuk itu Hasto berpesan agar pada calon pengantin jangan kawin terlalu muda, karena cukup banyak risiko pada kehamilan ibu dengan usia muda.
"Sering terjadi masalah, diantaranya bisa robek jalan lahirnya, pendarahan, bahkan jangka panjang bisa berakibat kanker mulut rahim dan tulang mudah keropos ketika menopause. Idealnya hamil di usia 20 tahun ke atas," ujarnya.
Konselor pernikahan Johana Rosalina K menyampaikan pernikahan juga perlu dilihat dari sisi psikologis, karena tidak ada pasangan yang mengarungi pernikahan tanpa konflik. "Setiap pasangan pasti mengalami konflik dalam hubungan mereka dan itu bukanlah hal yang buruk. Semua pasangan bertengkar tentang hal yang sama," kata Rosa.
Rosa memaparkan tujuh sumber konflik dalam pernikahan meliputi tingkah laku yang bermasalah, ketidaksetiaan, komunikasi, keuangan, keintiman, anak, mertua, dan ipar. Menurutnya, pasangan tidak bisa menghindari sumber konflik tersebut dan harus bisa saling berkomunikasi dan membuat penyelesaian masalah bersama. "Strategi mengelola konflik dengan menyelesaikan konflik bersama pasangan sebagai tim. Keduanya harus mau mencari penyelesaian. Jika tidak ada kesepakatan, cari titik temu dan konsensus yang bisa diterima masing-masing," ujarnya.
Selain itu penting untuk meluangkan waktu mendiskusikan hal penting seperti keuangan, keintiman, hubungan antarmertua, kebiasaan pasangan, pola asuh, dan membiasakan saling mendengar dengan baik. Direktur Bina Ketahanan Remaja BKKBN Edi Setiawan menyampaikan calon pengantin perlu memeriksa kesehatan pranikah guna memutus siklus stunting dari hulu.
"Kami menyarankan pemeriksaan kesehatan tiga bulan sebelum menikah. Apabila ditemukan status tidak sehat atau tidak ideal pada calon pengantin, terutama wanita, dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memperbaiki kondisi tersebut," ujar Edi. BKKBN memiliki aplikasi Elektronik siap nikah dan siap hamil (Elsimil) yakni aplikasi skrining dan pendampingan bagi calon pengantin.