REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Memasuki musim hujan, produksi garam petani di Kabupaten Cirebon terhenti. Lahan garam pun dibiarkan menganggur karena tidak bisa dialihfungsikan.
‘’Sudah setengah bulan ini produksi garam terhenti,’’ ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Indonesia Kabupaten Cirebon, Insyaf Supriadi, kepada Republika, Selasa (23/1/2024).
Insyaf mengatakan, di Kabupaten Cirebon saat ini terdapat sekitar 14 ribu hektare tambak garam. Lahan tersebut terbentang di sepanjang pesisir Losari hingga Bungko. Menurut Insyaf, pada 2023 lalu, produksi garam di Kabupaten Cirebon cukup tinggi. Yakni, sekitar 50 ribu ton. Hal itu disebabkan kondisi musim kemarau yang panas akibat pengaruh fenomena el nino.
Namun saat memasuki musim hujan, aktivitas produksi garam di tambak otomatis terhenti. Lahan tambak pun dibiarkan menganggur. Insyaf mengakui, kondisi itu berdampak pada nasib petani garam. Saat ini, mereka terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meski diakuinya, adapula petani garam yang kini beralih profesi menjadi petani bawang merah.
‘’Ya memang ada yang beralih ke bawang merah, mereka menyewa lahan. Tapi nilanya kecil,’’ katanya.
Hal itu seperti yang dilakukan salah seorang petani garam di Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Ismail. Dia mengaku kini membiarkan lahan tambak garamnya menganggur sejak masuk musim hujan. ‘’Lahan tambak garam ya mayoritas dianggurkan ketika masuk musim hujan,’’ kata Ismail.
Sejak produksi garam terhenti akibat musim hujan, Ismail pun kini beralih menanam bawang merah. Hal itu dilakukannya di lahan yang berbeda. ‘’Nanam bawang merahnya bukan di lahan bekas tambak garam, tapi di lahan berbeda,’’ tukas Ismail.