REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Executive Director Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Aries Setiadi memandang optimistis dan waspada terhadap pertumbuhan industri fintech (financial technology) pada 2024.
“Jadi sekarang memang kami melihatnya dari sisi optimis, tapi juga cautious, waspada. Jadi bukan optimis tapi anxious gitu ya. Kita jangan cemas, tapi tetap perlu berhati-hati,” ujar dia dalam kegiatan “Media Gathering Aftech bersama OY! Indonesia: Inklusi Keuangan Dorong Kemajuan Ekonomi 2024” di Kota Kasablanka Mall, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
Di sisi fintech, lanjutnya, optimisme dilihat dari tiga faktor. Pertama, melihat dari makro ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali menguat pascapandemi Covid-19 menjadi berkisar 5 persen. Outlook pertumbuhan ekonomi pada tahun 2024 juga diperkirakan tumbuh di atas 5 persen, atau salah satu yang tertinggi di dunia.
Meninjau ekosistem ekonomi digital, diperkirakan akan bertumbuh 15 persen per tahun hingga 2025 berdasarkan laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company. Artinya, pertumbuhan di sektor tersebut tiga kali lipat dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Jadi kalau selama ini fintech itu diatur di tataran lembaga gitu, ya, kalau sistem pembayaran atau payment gateway di Bank Indonesia, terkait dengan sandbox itu ada di OJK (Otoritas Jasa Keuangan), sekarang ada tataran undang-undang. Jadi lebih kuat,” ungkap Aries.
Sebagai asosiasi, Aftech disebut akan menjaga agar peraturan pelaksanaan dari UU P2SK dapat lebih suportif lagi terhadap kemajuan industri fintech dan diterima oleh masyarakat luas.
Terakhir, permintaan terhadap layanan industri fintech masih tinggi mengingat 97,7 juta orang di Indonesia, atau 48 persen dari total penduduk, masih unbanked (orang dewasa yang tidak memiliki rekening bank sendiri). Hal ini menunjukkan bahwa para pelaku industri fintech masih bisa menyentuh warga negara yang unbanked guna antara lain meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia.
“Tentu (upaya menyentuh warga negara yang unbanked) ada kehati-hatiannya. Sekarang kan kalau melihat geopolitik dunia juga ada sentimen negatif, dan kampanye (pemilihan umum/pemilu) di satu sisi bisa meningkatkan transaksi masyarakat, tapi pada saat yang bersamaan, kalau ada ketidakpastian juga bisa jadi sentimen negatif juga. Tapi, kami dari asosiasi, bareng dengan para member kami, tentu selalu menggalakkan optimisme supaya masyarakat juga punya digital trust yang tinggi terhadap sektor keuangan,” kata dia.