Kamis 25 Jan 2024 10:50 WIB

Pakar Soroti Masalah Kebersihan dan Kesehatan dalam Proses Edukasi Masyarakat

Silva mengamati perilaku BABS masyarakat berpendapatan-berpendidikan rendah di Jabar.

Dr Silva Liem
Foto: dokpri
Dr Silva Liem

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Awal tahun 2024 ini, Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya kembali menggelar Sidang Promosi Doktor Psikologi yang ketujuh pada hari Senin (22/1/2023) di Gedung Yustinus Lantai 14 Kampus Semanggi dengan Dr Silva Liem, sebagai Promovenda. Promovenda adalah pemerhati masalah Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) yang pernah dipercaya oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), UNICEF, Water.org., dan USAID yang berhasil mempublikasikan karya dan berperan sebagai reviewer di Scopus indexed International Journal seperti American Journal of Health Promotion (Q1); Journal of Water, Sanitation, and Hygene for Development (Q2), Children and Society (Q2). 

Dengan disertasi yang berjudul 'Pengaruh Sikap, Norma Subyektif, Persepsi Kendali, dan Promosi Kesehatan terhadap Intensi Implementasi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) dengan Intensi sebagai Mediator', Silva mengamati perilaku BABS pada masyarakat yang berpendapatan dan berpendidikan rendah di sebuah desa di Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan oleh Doktor Silva bertujuan untuk menelaah apakah faktor internal seperti sikap, norma subyektif, dan persepsi kendali, ataupun faktor eksternal misalnya promosi kesehatan, mampu berkontribusi terhadap niat individu untuk setop BABS ataupun tindak untuk mewujudkan niatnya tersebut. 

"Saya berpikir bukan hanya perilaku BABS yang perlu kita edukasikan, tapi juga termasuk alternatif lain apa yang bisa ditawarkan bagi mereka dengan kondisi finansial yang kurang mampu. Kita bisa merangkul para tokoh agama sebagai perantara dalam menyampaikan informasi mengenai sanitasi air," ungkap Doktor baru yang juga pemerhati masalah Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) itu. 

Umumnya, Buang Air Besar Sembarangan (BABS) merupakan perilaku yang tidak sehat, memalukan, bahkan melanggar norma agama. Namun untuk kelompok masyarakat yang diteliti Silva, perilaku BABS menawarkan kenyamanan, kesempatan bertemu dengan teman, juga manfaat ekonomis, termasuk menghemat pakan ikan dan biaya membangun WC. Terlepas dari manfaat tersebut, BABS juga dikaitkan dengan kesehatan dan status gizi anak, khususnya pada masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). 

"Upaya pemerintah menurunkan angka kejadian stunting dihadapkan pada setidaknya tiga kendala: Pertama, persepsi masyarakat tentang postur pendek anak-anak yang diyakini sebagai ‘bawaan dari sana nya’. Kedua, istilah stunting yang kurang familiar di telinga masyarakat; dan ketiga, dampak BABS sebagai faktor risiko stunting masih terbatas pada kajian ilmiah dan belum banyak tersampaikan kepada masyarakat umum," kata Doktor Silva. 

Tiga kendala ini berkaitan dengan promosi kesehatan. Sementara itu diperlukan juga pemahaman atas faktor yang memengaruhi warga untuk mau berhenti BABS, baik yang berasal dari dalam diri individu seperti sikap, tuntutan orang sekitar, dan keyakinan atas kemampuan diri, maupun faktor eksternal berupa informasi yang diterima tentang dampak BABS bagi kesehatan anak. 

Secara praktis, penelitian tersebut merupakan sebuah masukan bagi praktisi kesehatan, khususnya dalam mengedukasi masyarakat tentang BABS sebagai faktor risiko stunting, serta dalam merancang intervensi untuk mengubah perilaku BABS menjadi BAB di WC Sehat. "Promosi kesehatan cukup sukses menyampaikan sisi negatif BABS, sehingga sudah banyak pula yang menjadikan stop BABS sebagai goal intention/GI, sebuah tujuan yang ingin realisasikannya (the what).  Namun mempertimbangkan marjinalitas warga, GI stop BABS perlu didukung dengan implementation intention / II atau 'the how'. Dengan kata lain, kegiatan promosi kesehatan layaknya mencakup informasi yang memperkenalkan alternatif skema pembiayaan demikian bagi calon kreditur maupun debitur sehingga warga pra-sejahtera pun dapat memiliki sarana sanitasi dan stop berperilaku BABS," jelas Silva. 

Kegiatan promosi kesehatan yang mencakup edukasi tentang bahaya serta dampak BABS diharapkan dapat lebih efektif dalam mewujudkan negara Indonesia yang bebas perilaku BABS. Silva berpendapat ”Penetrasi bank pembangunan daerah untuk menjangkau kelompok marjinal juga sekaligus mengamankan mereka dari jeratan rentenir yang selama ini menjadi andalan namun akhirnya menjerumuskan warga ke jurang kemiskinan yang semakin dalam. 

Dengan demikian, kredit air dan sanitasi diharapkan menjadi entry point yang akan mendorong dan memudahkan interaksi masyarakat marjinal dengan lembaga keuangan formal, sehingga mereka terlindungi dari rentenir.” Silva juga mengajak masyarakat untuk turut membantu mereka yang masih acuh, khususnya untuk merangkul kelompok marjinal. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya pembentukan niat untuk stop BABS juga dipengaruhi oleh keyakinan individu terhadap kemampuannya untuk stop BABS dan frekuensi keterpaparannya terhadap informasi tentang kaitan BABS dan status gizi anak. 

Hal ini juga disampaikan oleh Prof Hana RG Panggabean, sebagai pomotor. "Berbeda dengan ungkapan populer yang sering dikenal, ’yang penting niat’, temuan studi Saudari Silva menunjukan bahwa niat atau intensi dalam benak dan hati tidaklah cukup, harus dilanjutkan dengan muncul menjadi niat yang ke arah tindakan," katanya.

Harapannya, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan pengetahuan melalui kegiatan promosi kesehatan yang dapat mendorong perubahan perilaku BABS. Kemasan pesan-pesan promosi yang dirancang sesuai dengan konteks setempat juga hendaknya menjadi 'amunisi tambahan' bagi pemerintah desa, tenaga kesehatan, tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta kader desa dalam meyakinkan warga untuk stop BABS, setidaknya demi alasan pertumbuhan anak dan terhindar dari stunting. 

Penelitian yang dilakukan ini tentunya turut mendukung dan juga sebagai bentuk perhatian Unika Atma Jaya terhadap masyarakat kelompok marjinal. Kepedulian terhadap martabat manusia dan kesejahteraan sosial menjadi salah satu nilai inti Unika Atma Jaya, yakni nilai Peduli. Program studi doktor Psikologi menyambut gembira promosi Dr. Silva. "Doktor Silva menunjukkan komitmen yang kuat untuk menyelesaikan studi doktoralnya di tengah-tengah kesibukan beliau sebagai konsultan lembaga pembangunan dan organisasi nonprofit. Pemahaman terhadap konsep, namun terutama sikap disiplin, kepekaan mengenali masalah di masyarakat yang majemuk, dan kemandirian dalam meneliti menjadi sorotan utama kami dalam program studi doktor," ungkap kepala program studi, Dr Christiany Suwartono. 

Kelebihan Dr Silva dalam hal sikap juga diungkapkan promotor. “Ibu Silva menjalani studi ini dengan kepekaan terhadap konteks kehidupan partisipannya, mencoba menggali makna khas konsep dan teori berdasarkan perspektif warga, bersedia terjun langsung dan menjalani irama kehidupan bersama para partisipannya," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement