REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Perjanjian Hudaibiyah dilakukan pada saat umat Islam berada dalam kondisi yang kuat, tidak dalam kendisi lemah. Dengan kata lain, kaum muslimin bisa saja tidak menerima syarat-syarat tak masuk akal yang membuat marah sebagian besar sahabat itu, namun hal itu tidak membuat mereka tidak mematuhi Rasulullah yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu.
Rasulullah saw terus bersikap sabar dan tenang selama proses lobi perjanjian berlangsung. Karena motif pembuatan perjanjian ini adalah sebagai gencatan senjata kedua belah pihak yang akan berlangsung selama 10 tahun, dan selama itu tidak akan ada pertumpahan darah dan Rasulullah bersama para sahabat dapat berdakwah secara damai.
Maski syarat-syarat perjanjian Hudaibiyah terlihat secara tekstual menyulitkan kaum Muslimin, namun di balik perjanjian itu, merupakan kemenangan bagi kaum Muslimin. Misalnya saja, disebutkan dalam perjanjian bahwa umat Islam tidak bisa haji selama 10 tahun lamanya, dan hanya mengizinkan kaum Muslimin pergi umrah selama 3 hari.
Tapi sejarah membuktikan, bahwa pada tahun berikutnya, kaum Muslimin yang berangkat umroh ternyata jumlahnya jauh lebih besar. Pengikut Nabi Muhammad Saw yang semula hanya berjumlah sekitar 1.400 orang bertambah menjadi hampir 10 ribu orang. Hal ini disebabkan orang-orang Quraisy banyak yang bersimpati terhadap Nabi Muhammad Saw.
Maski di mata para sahabat perjanjian itu lebih banyak merugikan umat Islam. Akan tetapi, di mata Nabi Muhammad Saw ini adalah kesempatan bagi umat Islam untuk melebarkan sayapnya. Setelah perjanjian Hudaibiyah dibuat, Rasulullah mengirimkan duta-dutanya ke negara tetangga untuk mengajak mereka memeluk agama Islam.
Berikut ini lengkap isi perjanjian Hudaibiyah dikutip dari buku Sirah Nabawiyah karya Ali Muhammad Ash-Shalabi:
Bismika Allahumma (Dengan nama-Mu ya Allah). Inilah perjanjian perdamaian yang dilaksanakan oleh Muhammad bin Abdullah dan Suhail bin Amru. Keduanya telah berjanji untuk mengakhiri peperangan atas seluruh manusia selama sepuluh tahun. Pada masa itu orang-orang mendapatkan keamanan dan sebagian mereka menahan (menjaga jangan sampai berperang) atas sebagian yang lain. Bahwa barangsiapa mendatangi kota Makkah dari kalangan sahabat Muhammad, baik itu untuk berhaji ataupun berumrah atau mencari karunia Allah, maka ia aman pada darah dan hartanya. Dan barangsiapa yang mendatangi kota Madinah dari kalangan kaum Quraisy untuk menyeberang ke Mesir atau ke Syam atau untuk mencari karunia Allah, maka ia aman pada darah dan hartanya. Bahwa barang siapa mendatangi Muhammad dari kalangan kaum Quraisy tanpa seizin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada mereka. Dan barangsiapa mendatangi kaum Quraisy dari kalangan orang-orang yang bersama Muhammad, maka mereka tidak berkewajiban mengembalikannya kepada Muhammad. Bahwa di antara kita berkewajiban untuk saling tahan menahan. Dan bahwa kedua belah pihak tidak boleh mencuri dengan sembunyi-sembunyi dan tidak boleh saling mencederai dan mengkhianati. Bahwa barangsiapa yang suka untuk masuk ke dalam pengukuhan dan perjanjian Muhammad, maka silahkan masuk. Dan barangsiapa yang suka untuk masuk ke dalam pengukuhan dan perjanjian kaum Quraisy, maka silahkan masuk. Kemudian orang-orang bani Khuza'ah melompat berdiri seraya berkata: Kami berada dalam pengukuhan dan perjanjian Muhammad. Sementara orang-orang bani Bakar melompat berdiri seraya berkata, "Kami berada dalam pengukuhan dan perjanjian kaum Quraisy.” Bahwa engkau pada tahun ini harus kembali dan tidak boleh masuk ke kota Makkah. Kemudian pada tahun depan, kami (kaum Quraisy) akan keluar dari Makkah, dan engkau boleh masuk bersama para sahabatmu, lalu engkau boleh tinggal di sana selama tiga hari dengan membawa senjata orang bepergian, yaitu, pedang-pedang di dalam sarungnya. Engkau tidak boleh masuk dengan senjata selain ini. Untuk binatang sembelihan (kurban), kami tidak akan mengambilnya dan akan melepaskannya. Maka, janganlah engkau berikan kepada kami. Perjanjian ini disaksikan oleh beberapa orang dari kaum muslimin dan beberapa orang dari kaum musyrikin. Dari kaum muslimin: Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amru, Sa'ad bin Abi Wagash, Muhammad bin Maslamah dan Ali bin Abi Thalib, sebagai penulis naskah perjanjian. Sementara dari kaum musyrikin: Mikraz bin Hafsh dan Suhail bin Amru.