REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra*
Keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengevaluasi posisi Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Danpuspomad) dan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto layak didukung. Agus mengajukan penurunan pangkat di dua jabatan tersebut. Dia beralasan, hal itu sebagai bagaian reformasi birokrasi dan evaluasi efektivitas organisasi dua tahunan.
Alhasil, Agus mengajukan keputusan itu kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas. Tujuannya agar jabatan Danpuspomad dan Kepala RSPAD diturunkan. Dari saat ini dijabat bintang tiga atau letnan jenderal (letjen) menjadi mayor jenderal (mayjen).
Tentu saja pengajuan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah dalam hal ini Kemenpan-RB. Tidak cukup sampai di situ. Agus juga mengajukan kenaikan pangkat Komandan Korps Marinir (Dankormar) TNI AL dari bintang dua ke bintang tiga.
Jika disetujui, ke depannya, posisi Dankormar akan diemban letjen dari saat ini mayjen. Khusus untuk Dankormar, sepertinya langkah Mabes TNI itu mengikuti jejak Mabes Polri.
Hal itu terkait keberhasilan Mabes Polri dulu menaikkan status Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) dari inspektur jenderal (irjen) menjadi komisaris jenderal (komjen). Dari sebelumnya bintang dua, kini Dankorbrimob dijabat bintang tiga.
Kembali ke penurunan dua posisi di TNI AD, hal itu jelas sangat menarik. Pasalnya, sebenarnya kenaikan status Danpuspomad dan Kepala RSPAD terjadi pada era Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa. Andika menggunakan kewenangannya mengevaluasi posisi strategis di Mabes TNI AD (Mabesad) merujuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 42 Tahun 2019 tentang Organisasi TNI.
Andika dan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) kala itu, menaikkan beberapa jabatan bintang dua menjadi bintang tiga. Andika kala itu mencari solusi cepat, karena ada ratusan perwira tinggi (pati) dan perwira menengah (pamen) di TNI AD yang nonjob.
Akhirnya, diputuskan puluhan posisi dinaikkan statusnya. Dari sebelumnya pos tertentu diemban bintang satu atau brigadir jenderal (brigjen) menjadi mayjen. Pun jabatan mayjen dinaikkan diduduki letjen.
Khusus bintang tiga di TNI AD, Andika menaikkan jabatan Inspektur Jenderal Angkatan Darat (Irjenad), Koordinator Staf Ahli (Koorsahli) KSAD, Komandan Pusat Teritorial Angkatan Darat (Danpusterad), dan Komandan Pusat Kesenjataan Infanteri (Danpussenif), termasuk Danpuspomad dan Kepala RSPAD dari mayjen ke letjen. Berarti ada enam jabatan baru yang naik status.
Dengan keputusan itu maka bintang tiga di Mabesad menjadi bertambah jumlahnya. Padahal, sebelumnya posisi bintang tiga dikhususkan untuk pos strategis. Di antaranya, Wakil KSAD, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad), dan Komandan Komando Pendidikan dan Latihan Angkatan Darat (Dankodiklatad).
Baca juga : Kepala Bapanas dan Petinggi Timnas Amin tak Penuhi Panggilan KPK
Bintang tiga tak strategis
Namun, pada era Andika, organisasi TNI AD menjadi lebih 'gemuk'. Jabatan bintang tiga pun menjadi tidak lagi strategis dan prestisius. Pasalnya, ada beberapa posisi yang sebenarnya kurang layak diemban letjen.
Menurut penulis, memang sangat tepat jika posisi Irjenad dinaikkan menjadi bintang tiga. Namun, sisanya terkesan kurang mendesak untuk dinaikkan statusnya. Sehingga sudah tepat jika sekarang Panglima TNI mengevaluasi posisi Danpuspomad dan Kepala RSPAD menjadi bintang dua.
Bayangkan saja, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI diemban pati bintang dua. Nah, mengapa Danpuspomad sampai harus bintang tiga? Padahal polisi militer dalam organisasi di Mabesad hanya berstatus bantuan administrasi (banmin). Sehingga sangat tidak menarik jika Danpuspomad sampai dijabat bintang tiga.
Pun Kepala Pusat Kesehatan Angkaran Darat (Kapuskesad) yang membawahi Kepala RSPAD hanya dijabat mayjen. Sehingga sangat aneh jika Kapuskesad yang bintang dua merupakan atasan Kepala RSPAD yang bintang tiga. Beruntung, dua posisi itu akhirnya diturunkan menjadi bintang dua sehingga roda organisasi bisa menjadi lebih efektif dan tepat.
Penulis menganggap, kenaikan status cukup untuk posisi Irjenad yang merupakan orang nomor tiga di Mabesad. Dengan diemban pati bintang tiga maka tugas audit dan memeriksa anggaran di semua organisasi TNI AD bisa terlaksana dengan mudah.
Namun, untuk jabatan Koorsahli KSAD, Danpusterad, hingga Danpussenif idealnya cukup diduduki perwira tinggi (pati) bintang dua saja. Pasalnya, tiga posisi tersebut juga terkesan kurang strategis. Dengan semakin sedikit letjen di lingkungan Mabesad maka posisi tersebut menjadi semakin ketat persaingannya dan menjadi bergengsi.
Tidak seperti sekarang, yang terkesan posisi bintang tiga lebih mudah didapat. Bahkan, ada jabatan bintang tiga yang terkesan merupakan hadiah, karena kedekatan pertemanan atau satu leting dan angkatan. Sayangnya, meskipun mendapatkan promosi bintang tiga, tetapi jabatan yang diemban tidak memiliki kewenangan besar.
Uniknya, semua jabatan strategis di TNI AD malah diisi mayjen. Misalnya, panglima kodam (pangdam), panglima divisi infanteri (pangdivif) Kostrad, komandan jenderal (danjen) Kopassus, maupun asisten KSAD. Namun, kalau pun mereka mendapat promosi bintang tiga di luar menjadi Wakil KSAD, Irjenad, apalagi Pangkostrad maka sebenarnya pati yang bersangkutan mendapatkan promosi pangkat, namun kewenangannya sangat terbatas.
Dari sinilah, seharusnya evaluasi organisasi di TNI AD bisa terus dilakukan. KSAD maupun Panglima TNI tidak harus mengikuti instansi sebelah yang memiliki posisi bintang tiga cukup banyak. Lebih baik pembenahan organisasi di Mabesad harus dilakukan demi menciptakan pati berkualitas terbaik yang bisa menduduki jabatan bintang tiga.
Dengan begitu, mereka yang menduduki jabatan bintang tiga didapat dari hasil kerja keras, seleksi ketat, dan prestasi, bukan karena pemberian rekan seangkatan atau bonus menjelang pensiun sehingga diberi promosi. Pasalnya, jangan sampai ada kesan, malah enak menduduki pangdam untuk bintang dua daripada promosi bintang tiga dengan jabatan tidak strategis.
Penulis pun mendorong supaya Mabesad bisa menerima masukan dari luar dan rutin melakukan evaluasi organisasi. Penurunan status pos-pos tidak penting, termasuk dari mayjen ke brigjen juga harus diaplikasikan. Dengan begitu, lahir perwira profesional yang menduduki jabatan strategis berkat rekam jejak dan karier cemerlang, bukan promosi akibat banyaknya ruang jabatan yang tersedia.
*Wartawan Republika serta penulis buku TNI dan Dinamika Organisasi