REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) merespons Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang baru saja diluncurkan Transparency International Indonesia. Skor Indonesia pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Indonesia memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115 pada pengukuran IPK 2023. Dalam pantauan ICW, jika ditarik ke belakang, skor IPK Indonesia saat ini sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014.
"Fakta ini menegaskan bahwa selama sembilan tahun masa pemerintahan Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran yang signifikan," kata ICW dalam keterangan persnya pada Selasa (30/1/2024).
Oleh sebab itu, ICW memetakan sejumlah persoalan yang disinyalir menjadi faktor melemahnya IPK Indonesia. Pertama, Presiden Jokowi dinilai ICW lebih sibuk “cawe-cawe” dalam urusan politik ketimbang melakukan pembenahan hukum. Padahal saat ini Indonesia memiliki setumpuk tunggakan legislasi yang diyakini dapat menyokong agenda pemberantasan korupsi seperti RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, Revisi UU Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Alih-alih dikerjakan, Presiden malah larut dengan nuansa politik dan melupakan janji politik penguatan pemberantasan korupsinya," ujar ICW.
Kedua, ICW menilai Presiden Jokowi lepas tanggungjawab terhadap situasi yang amat mengkhawatirkan di KPK. Pasal 3 UU KPK baru telah meletakkan Presiden sebagai atasan administratif lembaga antirasuah. Sehingga Presiden harus mengambil tindakan dalam setiap peristiwa yang terjadi di KPK, khususnya menyangkut buruknya tata kelola kelembagaan.
"Akan tetapi, hal tersebut juga tidak dikerjakan. Akibatnya, kinerja KPK menurun, bahkan kepercayaan masyarakat merosot tajam belakangan waktu terakhir," ujar ICW.
Ketiga, ICW menyoroti proyek legislasi yang dihasilkan oleh Presiden Jokowi bersama DPR telah berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi yang tergolong kejahatan luar biasa. Misalnya, UU Pemasyarakatan (UU PAS), dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hal ini dikarenakan substansi UU PAS menurut ICW melonggarkan aturan pemberian remisi bagi terpidana korupsi.
"Akibatnya, para terpidana korupsi dapat lebih cepat menjalani masa pemidanaan, seperti Pinangki Sirna Malasari, Wahyu Setiawan, atau Nur Alam. Sedangkan KUHP, hukuman penjaranya justru lebih ringan ketimbang UU Tipikor," ucap ICW.