Rabu 31 Jan 2024 00:08 WIB

Minuman Berpemanis dalam Kemasan akan Kena Cukai, Apa Kata Dokter?

Dokter menyebut sumber asupan gula berlebih bukan hanya dari minuman saja.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Qommarria Rostanti
Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Pemerintah Indonesia berencana mengesahkan aturan terkait cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada tahun ini.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Pemerintah Indonesia berencana mengesahkan aturan terkait cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada tahun ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia berencana mengesahkan aturan terkait cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) pada tahun ini. Aturan ini dibuat dengan tujuan untuk menekan konsumsi gula berlebih yang dapat memicu terjadinya sejumlah penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2.

"Penyakit tidak menular akibat kelebihan (konsumsi) gula amat merongrong Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)," terang doktor ahli gizi komunitas, Dr dr Tan Shot Yen MHum, kepada Republika.co.id pada Selasa (30/1/2024).

Baca Juga

Pemberlakuan cukai pada MBDK, kata dia, dapat membuat harga produk minuman berpemanis dan bergula menjadi lebih tinggi. Harga yang lebih tinggi ini dapat membuat sebagian masyarakat menjadi lebih enggan untuk membeli dan mengonsumsi produk minuman berpemanis atau bergula.

Akan tetapi, dr Tan menilai orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang tinggi masih bisa mengakses produk-produk tersebut tanpa kendala. Oleh karena itu, kelompok ini mungkin masih akan berisiko terhadap penyakit tidak menular terkait konsumsi gula berlebih meski cukai terhadap BMDK sudah diberlakukan.

Selain itu, dr Tan mengingatkan bahwa sumber asupan gula berlebih bukan hanya dari minuman saja. Tak jarang, asupan gula berlebih juga disebabkan oleh makanan yang dikonsumsi dalam keseharian.

"Pemanis itu juga ada dalam pangan, bukan cuma di minuman. Termasuk konsumsi aneka kecap dan saus-saus," ujarnya.

Terkait pola konsumsi gula di tengah masyarakat, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi gula, garam, dan lemak melebihi batas yang dianjurkan. Batas tersebut adalah 50 gram per hari untuk gula, 2 gram per hari untuk garam, dan 67 gram per hari untuk lemak.

Tak hanya itu, melalui laman resminya, Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa ada 61,27 persen masyarakat Indonesia dengan usia 3 tahun ke atas yang mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari. Sebanyak 30,22 persen masyarakat Indonesia juga mengonsumsi minuman manis dengan frekuensi sekitar 1-6 kali per pekan. Mengacu pada Riskesdas 2018, hanya 8,51 persen orang Indonesia yang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan.

Dr Tan mengingatkan bahwa kebiasaan mengonsumsi gula secara berlebih dapat menyebabkan 5K. Berikut ini adalah 5K yang dimaksud oleh dr Tan:

1. Ketagihan. Meningkatnya kebutuhan terhadap rasa manis yang berlebih.

2. Kegemukan dan kerapuhan tulang.

3. Kelebihan gula darah (dengan risiko diabetes atau strok).

4. Kolesterol jahat meningkat (dengan risiko penyakit jantung).

5. Kemungkinan kanker meningkat akibat konsumsi gula yang biasanya dikaitkan dengan produk ultra proses dan kegemukan.

Sebagian orang mungkin mencoba menekan konsumsi gula harian mereka dengan beralih ke minuman berpemanis buatan. Menurut dr Tan, cara ini bukanlah solusi karena konsumsi pemanis buatan juga bisa memberikan dampak buruk bagi kesehatan.

Alih-alih mencari pengalihan, dr Tan menilai kebiasaan mengonsumsi gula berlebih sepatutnya diperbaiki dengan menumbuhkan kesadaran. Sayangnya, Dr Tan menilai kesadaran masyarakat akan bahaya konsumsi asupan gula berlebih masih relatif rendah.

"Sebab kesadaran literasi membaca label pangan saja masih rendah," ujar Tan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement