GenpOp.id -- China Evergrande Group menghadapi momen penting di pengadilan, sampai-sampai mereka meminta persetujuan atas rencana restrukturisasi utangnya. Namun sayang seribu sayang, permintaan itu ditolak pengadilan.
Keputusan pengadilan pada Senin 29 Januari 2024 lalu, mengamanatkan likuidasi perusahaan besar real estate tersebut.
Keadaan ini tidak hanya memperparah krisis real estat tetapi juga membayangi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Dengan anjloknya nilai Evergrande lebih dari 90 persen pada tahun lalu, prospek tersebut tampaknya menjadi tantangan bagi banyak investor, mulai dari bank hingga pembeli properti dan entitas real estate lainnya.
Permasalahan itu kian memperumit pemerintah China, yang sedang sibuk mengurus inflasinya yang negatif, di kisaran minus 0,3 persen.
Salah satu hal yang perlu disoroti dari masalah yang mendera Evergrande ini adalah beban utang perusahaan. Tercatat Evergrande punya utang sebesar 300 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.700 triliun.
Beban utang Evergrande melebihi empat kali lipat Produk Domestik Bruto (PDB) El Salvador. Bahkan utang Evergrande Group juga setara dengan gabungan utang Chili, Rumania, dan Finlandia, sebagaimana dikutip dari Coinpedia.
Dampak Bangkrutnya Evergrande
Dampak dari bangkrutnya Evergrande ini tidak hanya terbatas pada lembaga keuangan, tetapi juga sampai ke ranah lapangan pekerjaan.
Selain itu, rantai pasokan global juga akan menghadapi gangguan karena perusahaan Evergrande mengambil bahan bangunan dari berbagai negara.
Runtuhnya Evergrande menjadi pelajaran penting sekaligus peringatan bagi investor yang lebih menyukai bisnis properti real estate.