REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG – Teknologi blockchain terus mengalami perkembangan hingga kemudian memunculkan aset kripto dengan koin terpopulernya Bitcoin. Dalam kondisi demikian, bagaimana sebaiknya studi Islam dalam merespons hal tersebut?
Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Kamaruzzaman Bustamam Ahmad menyampaikan, terlepas adanya pro dan kontra terhadap blockchain dan kripto, studi Islam harus merespons perkembangan teknologi ini.
"Dari aspek keagamaan, orang bicara boleh dan tidak, tetapi ada perubahan yang cukup signifikan yang bagi kita, yang bergelut pada studi Islam, harus merespons ini," kata dia dalam konferensi pers AICIS 2024 di UIN Walisongo Semarang, Sabtu (3/2/2024).
Guru Besar UIN Ar-Raniry bidang antropologi Islam itu menjelaskan, alat tukar di dunia sejatinya mengalami transformasi. Dahulu orang menggunakan barter, lalu beralih ke emas dan perak melalui dinar dan dirhamnya. Kemudian berkembang lagi hingga bertransformasi menjadi uang fiat.
"Dan sekarang cryptocurrency. Semua ini alat tukar. Ada beberapa hal tertentu yang menjadikan values-nya naik. Sekarang ini, bicara value bicara emas, tetapi berkembangnya blockchain, kripto, NFT, dan macam macam, itu membuktikan ada perubahan yang cukup besar. Maka ini harus ditampung dalam studi Islam atau studi agama," jelasnya.
Kamaruzzaman melihat, perubahan ini tentu tidak tiba-tiba datang, tetapi ini mengikuti perkembangan zaman. "Dalam kaidah kita (Islam), berubah zaman maka berubahlah sesuatu yang awalnya kita yakini sebagai satu aturan. Ini falsafahnya," ujarnya.
Dia pun mencontohkan saham yang sekarang telah berkembang dengan munculnya saham syariah. Sudah banyak aplikasi tempat jual-beli saham yang di dalamnya terdapat kategorisasi khusus untuk saham syariah, meskipun belum tentu secara keseluruhan perusahaan tersebut benar-benar syariah.
Kini, terang Kamaruzzaman, seseorang tidak harus bekerja secara fisik. Misalnya menetap di Aceh, bekerja di rumah, tetapi melakukan pekerjaan untuk perusahaan yang berada di luar negeri.
Baca juga: Mengapa Kita Dianjurkan Perbanyak Shalawat? Ini Penjelasan Imam Al Ghazali
"Global mind ini membentuk bisnis-bisnis baru yang membuat orang tidak perlu lagi datang secara fisik. Jadi kita akan berada di mana secara fisik tidak lagi bekerja, bahkan sekarang tidak perlu bekerja secara fisik, tapi dia bekerja dengan networking. Maka persoalan ke depan adalah bagaimana konsep penjelasan atas perubahan ini," jelasnya.
Kamaruzzaman menambahkan, dalam antropologi yang dia geluti, saat ini dikenal Artificial Consciousness, yaitu kesadaran buatan, yang belum ada kajiannya di Indonesia. Kesadaran buatan ini mencakup bagaimana proses perubahan yang awalnya ada dalam pikiran, lalu masuk ke dalam kesadaran.
"Jadi orang merespons ke sesuatu itu di luar kesadarannya. Sehingga tiba-tiba orang bisa menjadi sangat agresif," terangnya.