Senin 05 Feb 2024 13:02 WIB

Petisi Bumi Siliwangi, Kampus UPI Kritik Presiden Jokowi Cawe-Cawe Pemilu

Kondisi ini berpotensi memberi ekses buruk pada ketidakpercayaan masyarakat.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Agus raharjo
Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang terdiri dari guru besar, mahasiswa, dan dosen menyatakan petisi tentang keprihatinan atas kondisi kebangsaan Indonesia di taman Partere, Senin (5/2/2024).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Sivitas Akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang terdiri dari guru besar, mahasiswa, dan dosen menyatakan petisi tentang keprihatinan atas kondisi kebangsaan Indonesia di taman Partere, Senin (5/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Ratusan sivitas akademika Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengungkapkan keprihatinan dengan kondisi kebangsaan Indonesia. Mereka melihat tindakan Presiden Jokowi cawe-cawe dalam kegiatan pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan fasilitas negara dan politisasi bantuan sosial menjadi gejala degradasi etika, nilai, dan moral.

Sejumlah guru besar, dosen, hingga mahasiswa serta alumni membacakan petisi Bumi Siliwangi. Pembacaan petisi dibacakan beberapa orang guru besar secara bergiliran dan mahasiswa. Guru besar yang hadir diantaranya yaitu Prof Cecep Darmawan, Prof Elly Malihah, serta Prof Amung Ma'mun.

Baca Juga

"Kami forum Sivitas Akademika UPI dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran moral menyatakan keprihatinan atas kondisi kebangsaan hari ini," tutur Guru Besar UPI Cecep Darmawan saat membacakan petisi di hadapan sivitas akademika UPI di Taman Partere, Senin (5/2/2024).

Rentetan tindakan pengabaian etika, moral, dan nilai-nilai Pancasila serta pelanggaran norma konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditampilkan oleh para pejabat publik tanpa rasa malu. Hal itu menunjukkan bingkai kebangsaan yang rusak dan kenegaraan hari ini.

"Tindakan cawe-cawe dalam pemilu, penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan fasilitas negara dan politisasi bansos untuk kepentingan politik elektoral, serta pelanggaran netralitas oleh para pejabat publik dalam pemilu menjadi gejala terdegradasinya nilai, moral, dan etika kebangsaan," kata dia.

Dengan penuh kesadaran dan kesengajaan, ia mengatakan Presiden Jokowi secara terbuka menyatakan keberpihakan dan keterlibatan dalam kampanye politik pada pemilu.

"Kami sangat menyayangkan sikap Presiden Republik Indonesia yang tidak mencerminkan kedudukannya sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang semestinya bersikap dan bertindak sebagai negarawan, teladan atau role model, serta pengayom bagi seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara," ucap guru besar yang lain.

Di samping itu, ketidaknegarawanan presiden tidak selaras dengan ajaran trilogi kepemimpinan dari Ki Hadjar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional yaitu “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani”.

"Artinya, tiga prinsip yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin ialah di depan memberi teladan, di tengah membangun ide atau gagasan, dan di belakang memberikan dorongan," kata dia.

Dengan kondisi tersebut tidak memberikan pendidikan politik kebangsaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Apabila dibiarkan maka kondisi ini tentu berpotensi dapat memberikan ekses buruk terhadap tidak terlegitimasinya penyelenggaraan pemilu, meningkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu, dan lebih buruk dapat mengancam disintegrasi bangsa dan negara.

Berikut petisi Sivitas Akademika UPI:

1. Mendesak Presiden Republik Indonesia agar mencabut pernyataan yang menunjukkan keberpihakannya dan keterlibatannya dalam kampanye politik pada Pemilu 2024.

2. Meminta Presiden Republik Indonesia agar bersikap dan bertindak sebagai negarawan yang menjunjung tinggi nilai, moral, dan etika kebangsaan berdasarkan Pancasila serta mengingat kembali sumpah dan janjinya sebagai Presiden Republik Indonesia sebagaimana amanat konstitusi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Meminta seluruh lembaga negara dan para pejabat publik agar komitmen untuk menegakkan etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

4. Mendesak Presiden Republik Indonesia dan para pejabat publik lainnya agar tidak menyalahgunakan kekuasaan dan menggunakan fasilitas serta sumber daya negara untuk kepenungan politik praktis kampanye pemilu.

5. Mengajak seluruh elemen masyarakat, bangsa, dan negara untuk mengawasi jalannya penyelenggaraan Pemilu 2024 secara berkeadilan dan benntegnitas sebagai wujud pendidikan politik kebangsaan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa Demikian pernyataan kami sampaikan sebagai upaya untuk menegakkan kembali nilainilai, moral, dan ctika kebangsaan berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement