Selasa 13 Feb 2024 12:55 WIB

Hasil Riset, Botol Minuman Penyumbang Sampah Terbanyak

Sampah kemasan produk ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA.

Red: Erik Purnama Putra
Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) melaksanakan Sensus Sampah Plastik di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia.
Foto: Dok. BRUIN
Badan Riset Urusan Sungai Nusantara (BRUIN) melaksanakan Sensus Sampah Plastik di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Net Zero Waste Management Consortium menggelar riset dan menemukan brand minuman ternama menyumbang sampah terbanyak di enam kota yang tersebar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya dan Medan. Padahal, beberapa dalam iklannya, mereka mengiklankan diri sebagai perusahaan ramah lingkungan.

Riset menyatakan, sampah plastik brand minuman ternama itu ditemukan dalam volume yang besar di banyak site. Di antaranya, di bak/tong sampah, tempat pembuangan sementara (TPS), truk sampah, tempat pembuangan akhir (TPA), badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan lokasi lainnya.

Pada kategori sampah kemasan botol plastik, riset menyebut tiga brand minuman botol plastik sampahnya mendominasi TPA di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda, dan Bali. Dari total 1.930.495 sampah plastik yang berhasil diidentifikasi di enam kota, sampah botol merek tertentu menyumbang 30.171 buah, 23.654 buah, dan air mineral 19.684 buah.

Dua brand lainnya, berturut-turut menempati posisi keempat dan kelima, yaitu 16.727 botol dan 11.357 botol. Bila ditotal, total sampah trio brand minuman bersoda mengalahkan total sampah botol minuman air mineral 9.511 buah.   

"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin dalam siaran pers di Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Menurut Ahmad, meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik, seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar. "Mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai, dan sebagainya," ujarnya.

Menurut Ahmad, temuan riset tersebut mengindikasikan program pengurangan sampah oleh perusahaan pemilik brand belum efektif. Dalam skema extended producer responsibility (EPR), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya.

Terutama, terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk. Selain itu, pemerintah mengeluarkan kebijakan up sizing, yang mendorong produsen meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Menurut Ahmad, sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena terefatalat, yang bernilai ekonomis. Sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.

Masalahnya, kata dia, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema circular economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota. Pun mereka yang bekerja mengurus CE masih ala kadarnya.

"Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS atau TPA, pinggir jalan, badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," kata Ahmad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement