REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Citra Institute, Efriza meyakini, Prabowo Subianto sebagai capres pemenang berdasarkan hasil quick count, akan mengajak sejumlah partai kubu lawan untuk masuk koalisinya. Prabowo perlu melakukan itu agar mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen, sehingga pemerintahannya kelak bisa berjalan mulus.
"(Prabowo-Gibran) perlu membangun kekuatan koalisi yang besar jika ingin keputusan atau kebijakan pemerintahannya tidak diganggu oleh parlemen," kata Efriza ketika dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, Kamis (15/2/2024).
Berdasarkan hasil quick count yang dilakukan Indikator Politik Indonesia dengan data masuk 95,43 persen, koalisi partai politik pengusung Prabowo-Gibran atau Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang masuk parlemen adalah Golkar, Gerindra, PAN, dan Demokrat. Keempat partai tersebut total mendapatkan 42,85 persen suara dalam Pileg DPR RI.
Adapun koalisi partai pendukung Anies-Muhaimin, yakni Nasdem, PKB, dan PKS, total mendapatkan 28,07 persen suara. Sementara itu, koalisi partai pendukung Ganjar-Mahfud, yakni PDIP dan PPP, mendapatkan 20,42 persen suara.
Jika hasil quick count itu sejalan dengan hasil penghitungan resmi KPU, maka kemungkinan total kursi yang dimiliki koalisi Prabowo di Senayan tak mencapai 50 persen. Menurut Efriza, Prabowo Subianto selaku pemimpin KIM akan mengajak tiga partai politik untuk gabung koalisinya demi memastikan kelancaran pemerintahannya kelak. Tiga partai itu adalah Nasdem, PKB, dan PPP.
Efriza menjelaskan, Nasdem paling berpeluang besar gabung koalisi Prabowo. Sebab, Nasdem hingga saat ini masih loyal mendukung Pemerintahan Jokowi.
Selain itu, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh dan Prabowo pernah sama-sama menjadi kader Golkar dulu. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berpotensi bersedia menerima Nasdem masuk KIM.
"Surya Paloh, Prabowo, dan Airlangga sama-sama punya hubungan baik di Golkar. Romantisme dan persahabatan memudahkan (kemungkinan Nasdem masuk KIM)," kata Efriza.
PKB, lanjut dia, juga berpotensi besar bisa gabung koalisi Prabowo. Sebab, PKB dan Gerindra pernah membangun koalisi jelang Pilpres 2024, meski gagal berlayar. Kendati begitu, hubungan Gerindra dan PKB tetap harmonis.
"Perlu diingat juga bahwa Muhaimin (Ketua Umum PKB) adalah orang yang rasional dan pragmatis demi kepentingan partainya. Ia enggan di luar pemerintah seperti PDIP dan Anies," kata dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Sutomo, Serang, Banten itu.
Efriza menambahkan, PPP juga potensial gabung KIM jika berhasil masuk parlemen. Pasalnya, PPP diyakini ingin berada dalam pemerintahan sehingga punya sumber daya untuk membenahi internal partai. Selain itu, elite PPP punya hubungan baik dengan Jokowi dan Prabowo.
"PPP akan lebih memilih merapat ke pemerintah, malah yang akan 'genit' melempar sinyal agar diajak bergabung dengan pemerintahan," ujarnya.
Efriza menjelaskan, apabila Prabowo berhasil merangkul tiga partai tersebut, maka tersisa dua partai yang akan menjadi oposisi di parlemen. Keduanya adalah PDIP dan PKS.
Menurut dia, PDIP akan dengan mandiri memilih menjadi oposisi sebagaimana pernah partai itu lakukan terhadap Pemerintahan Orde Baru dan Pemerintahan SBY. Sedangkan PKS, diyakini tak akan diajak gabung oleh Prabowo.
"Dengan menyisakan PDIP dan PKS sebenarnya akan lebih baik bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebab, kedua partai itu tidak akan pernah bisa bersatu berjuang sebagai oposisi," ujar Efriza.
"Artinya, oposisi terberat dan riil terhadap Pemerintahan Prabowo hanya tinggal dari PDIP, sedangkan PKS hanya berkategori oposisi caper," ujarnya menambahkan.